Assalamu'alaikum Sahabat Rohis...Selamat Datang di portal blog Rohis SMK Negeri 2 Depok, Terima Kasih telah berkunjung, Salam Ukhuwah.. ^_^

Sahabat Rohis se-Kota Depok

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad:7)

Barisan Kami..

Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran. Dialah hiasan di kala kita senang dan perisai di kala kita susah.

Inilah Jalan Kami

Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah....(12:108)

Ukhuwahlah Yang Menyatukan Kami

Ukhuwah dan Aqidahlah yang menyatukan kami. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, dan membelah laut.

Minggu, 12 Februari 2012

Dakwah Itu Bukan Aku Atau Kamu, Tapi Kita

 Innamal mukminu na ikhwah. Sesama mukmin itu bersaudara. Seperti yang dijelaskan di catatan sebelumnya kenapa kok memakai kata mukmin, bukan muslim? Persaudaraan yang diikat oleh akidah atau kepercayaan, itu dapat lebih abadi kalau kita benar-benar memahaminya. Pernahkah mendengar cerita Salman Al Farisi? Seorang Majusi yang kemudian berpindah agama menjadi Kristen karena melihat cara beribadah Kristen yang sangatlah baik untuknya. Lalu berpindah-pindah pendeta karena pendeta sebelumnya sudah wafat. Namun ketika pendeta terakhir mau wafat, Salman disuruh pergi menuju tempat yang dipenuhi pohon kurma, disana telah lahir seorang Rasul yang membawa Syafaat untuk seluruh ummat di dunia.

Lalu sepeninggal pendeta itu, salman memenuhi panggilan itu, panggilan untuk mencari Rasulullah. Benar saja, Salman bertemu dengan Rasulullah lalu menyatakan keislamannya secara kaffah. Dan Salman menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah. Peran Salman sangatlah besar untuk ummat ini. Ketika ummat ini hanya berada di daerah yang sangat kecil, yaitu Madinah Al-Mukarromah, musuh-musuh Islam di luar daerah itu bersatu untuk menghancurkan Madinah tempat dimana ummat muslim baru saja berhijrah. Musuh-musuh besar yang mengelilingi kota Madinah ini siap untuk meluluhlantakkan Madinah.

Bisa dibayangkan kalau sekarang seluruh negara-negara besar di dunia seperti AS, Australia, China, Jepang dan India menyerbu Indonesia. Pasti kewalahan untuk menghadapinya. Namun Salman mempunyai ide yang sangatlah tidak biasa bagi orang Muhajirin maupun Anshar. Membuat parit yang mengelilingi kota Madinah. Parit yang dibuat tidak hanya sekedar parit, parit ini sangatlah besar, bahkan kalau orang yang masuk kedalamnya, walaupun saling menjunjung agar bisa sampai ke permukaan, tidak akan sanggup. Sementara lebarnya, kuda saja tidak dapat melewatinya. Bisa dibayangkan betapa cerdiknya generasi-generasi unggul yang dilahirkan dari rahim ukhuwah. Seorang Majusi yang berubah total menjadi Kristen, namun setelah datangnya Islam dia langsung menyambutnya dengan segera dan menyatakan keislamannya.

Generasi terbaik kala itu tidak langsung dilahirkan oleh orang Islam, sama halnya dengan sekarang, hanya berbeda tipis. Generasi terbaik saat ini kebanyakan lahir dari mereka yang ketika menginjak SMA adalah orang-orang ammah, namun ketika berada di kuliah dan mengenal dakwah, mereka akan menjadi generasi-generasi pembaharu, sangat berbeda dengan orang yang sudah merasa mempunyai banyak ilmu, sehingga kebanyakan ketika kuliah susah untuk diajak berdakwah, sehingga susah juga untuk menjadi generasi pembaharu.

Padahal masa-masa kuliah adalah masa yang paling menentukan untuk ke depannya. Banyak yang ketika masih menjadi siswa adalah orang-orang yang biasa bahkan sangat jauh dari kebaikan, namun ketika kuliah, dia sangat dekat sekali dengan kebaikan. Tidak jarang juga mereka yang ketika menjadi siswa sangat dekat dengan kebaikan, tapi ketika menjadi mahasiswa, seakan-akan kebaikan itu terasa jauh. Lingkungan yang tidak mendukung disertai teman-teman yang lebih menyukai duniawi. Atau terkadang disebabkan rasa puas ketika masih menjadi siswa telah melaksanakan banyak kebaikan, lalu buah kebaikan yang dilaksanakan diambil ketika kuliah, sehingga ketika kuliah malah menjadi jauh dari kebaikan karena kepuasan tersebut.

Sangat miris ketika terjadi seperti itu. Padahal kebaikan yang kita lakukan tidak akan pernah habis, sekalipun sudah menjaid mahasiswa, atau bahkan sudah menikah. Ketika ada yang merasa capek dengan dakwah yang terlalu berat, lalu bertanya, ”Kapankah kita akan beristirahat?”. Maka jawablah, ”kita akan beristirahat ketika kaki kita sudah menginjak jannah-Nya”

Jannah, sebuah tempat yang sangat diinginkan oleh setiap orang, namun keinginan tidak sesuai dengan usaha hanya akan berakibat omong kosong belaka. Ibarat mimpi tanpa aksi, yah yang didapat hanyalah khayalan tanpa tindakan. Oleh karena, menjadi orang pintar itu wajib, tapi jangan merasa diri ini paling pintar. Menjadi ‘alim itu juga penting, namun jangan merasa diri ini paling ‘alim sehingga apa yang orang lain perbuat selalu salah dimatanya.

Kembali lagi ke konteks ukhuwah. Saling mengingatkan kondisi saudara di sebelah kita merupakan sebuah kewajiban mutlak kita, ibarat tubuh, ketika salah satu bagian sakit, maka bagian yang lain akan merasakan sakit yang sama. Sama halnya ketika mata sedang kemasukan debu, maka tangan siap untuk melindunginya. Seperti itulah ukhuwah, sangat erat, dekat, cepat, serta saling mengerti satu sama lain. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling menyombongkan dirinya.

Apa yang terjadi ketika jempol menyombongkan dirinya karena dia lah yang terhebat. Jempol digunakan untuk memberikan tanda dedikasi atas kehebatan seseorang. Lain jempol, lain pula dengan telunjuk, jari telunjuk digunakan untuk menunjuk, kalau tidak ada telunjuk, maka orang tidak akan tahu jalan. Yang selanjutnya adalah jari tengah, dia yang paling tinggi diantara yang lain. Yang keempat adalah jari manis, jari ini digunakan untuk menerima cincin pernikahan. Dan yang terakhir, yang paling mengenaskan adalah kelingking. Selain dialah yang paling kecil, kegunaannya yang lain salah satunya adalah untuk mengecek keberadaan telur di dalam ayam. Karena saking kecilnya lubang telur ayam, maka yang pas masuk hanyalah kelingking. Bayangkan jika jempol yang dimasukkan kesitu? Pasti keesokan harinya si ayam tidak mau bertelur lagi. Apa yang akan terjadi ketika kelima jari tersebut disuruh mengangkat kardus namun masing-masing dari mereka saling menjauh karena sangking sombongnya? Seperti itukah kita?

Kelima jari-jari tersebut memiliki keistimewaan masing-masing, apa yang dimiliki jempol belum tentu dimiliki oleh kelingking, begitu pula sebaliknya. Seharusnya kita dapat mengambil ibrah darisini. Apa yang kita miliki belum tentu dimiliki orang lain, begitu pula selanjutnya. Oleh karena itu dibutuhkan ukhuwah untuk saling mengisi.

Mengemban dakwah bukan tugas satu orang atau dua orang saja, bukan tugas satu kelompok atau dua kelompok saja, bukan tugas satu organisasi atau dua organisasi saja, bukan pula tugas satu kampus atau dua kampus saja, dan juga bukan tugas satu negara atau dua negara saja. Namun ini tugas kita semua. Meninggikan kalimat tauhid yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu, yaitu Allah adalah tugas kita semua. Namun seperti itukah kita sekarang? Kita lebih terfokus pada ini hakku, ini hak kamu. Ini kewajibanku, ini kewajiban kamu. Kalau terus-terusan seperti itu tanpa saling menopang, bagaimana Dien ini bisa bersatu? Saling bahu-membahu menjadi peran yang paling penting dalam persaudaraan. Ketika saudara kita bersemangat, kenapa kita tidak?

Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang

Kamis, 09 Februari 2012

Jatuh Cinta Pada Palestina..

Mungkin Anda akan bosan ketika saya membicarakan Palestina. Biarlah! Kali ini saya hanya akan menyampaikan sebuah fakta tentang Palestina yang pantang menyerah, Israel yang kurang ajar dan Indonesia yang memalukan. Maaf! Kalimat saya agak kasar. Jangan kemudian Anda tersinggung ketika saya berkata, “Indonesia yang memalukan.” Kalimat itu hanya fakta. Jika Anda menanyakan nasionalisme yang ada pada diri saya, maka silahkan lukai tubuh saya! Niscaya Anda akan mendapati: Merah darahku, Putih Tulangku. Dan merah putih adalah bendera kebangsaan, Aku Cinta Indonesia.

Yang saya maksud dengan Indonesia yang memalukan adalah mereka yang memang tidak tahu diri atau mereka yang memang tidak mau tahu. Tanya saja kepada mereka yang berdasi, duduk di ruangan berpendingin dan busung perutnya lantaran memakan uang rakyat. Saya yakin, Anda pasti mengenalnya.
Anda pasti sering mendengarkan kalimat ini, “Ngapain repot membantu Palestina? Ngurus Indonesia saja tidak becus? Masih banyak pengangguran, kemiskinan merajalela dan aneka ketimpangan lainnya?” Pernah, kan? Atau saya curiga, jangan-jangan Andalah salah satu orang yang sempat  berpikiran sepicik itu atau barangkali pernah mengucapkannya? Jika ‘Ya’, teruskan baca tulisan ini, dan bertaubatlah dari apa yang Anda ucapkan. Jika ‘tidak’, lanjutkan saja membaca, semoga ada ilmu yang bisa Anda dapatkan.
Palestina adalah negeri suci. Ia adalah simbol Islam lantaran di dalamnya ada masjid Al Aqsha. Masjid yang menjadi saksi peristiwa Isra’ Mi’raj, masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam, dan masjid yang diberi pahala berlipat ganda manakala kita sholat di dalamnya dan  masjid yang keberkahannya terekam jelas dalam Al Qur’an Surah Al Isra’ ayat Pertama.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia   adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Israel Ilegal

Israel adalah negara tidak sah. Ia yang awalnya ditumpangi oleh Palestina, kini malah mengusir dan membunuhi tuan rumah. Warga Palestina yang sejatinya pemilik resmi tanah suci itu diusir paksa. Ancamannya mengerikan, “Pergi atau mati!” Apa yang Anda lakukan jika hal itu terjadi pada kita dan Indonesia? Sebagai orang yang ‘waras’, Anda pasti akan melawan, bukan?  Dan hal itulah yang pernah kita alami saat Belanda, Jepang dan Portugis menjajah negeri kita. Ketika dulu kita menggunakan Bambu Runcing, maka kini , Palestina hanya menggunakan batu. Tolong camkan, batu!
Israel tidak sendiri. Kalau sendiri berarti mereka jantan. Ia mengajak banyak teman. Bosnya adalah negri Paman Sam. Tercatat, negeri itu membantu sekitar 620 juta Dolar AS pertahun untuk membiayai perang Israel melawan Palestina. Belum lagi dengan bantuan senjata yang dijual murah, kekuatan diplomasi via PBB dan seterusnya. Termasuk juga melalui penjualan-penjualan produk yahudi yang melonjak drastis di seluruh dunia, termasuk di negeri kita juga.

Mungkin, kita tidak menyadari, bahwa ada sebagian uang kita yang mengalir ke kantong Israel melalui pembelanjaan beberapa barang yang memang mensponsori mereka.
Bukan main peran yang dilakukan oleh Israel dalam upaya memusnahkan segala yang bermerk Palestina. Dalihnya adalah pejuang militan Palestina yang mereka labeli dengan teroris. Dari sana, mereka kemudian menembaki anak-anak, para pemuda, ibu hamil juga orang-orang jompo yang tidak berdosa. Bahkan, cara yang mereka lakukan tak kalah bejatnya.

Ada yang diberondong dengan peluru ketika shalat berjama’ah di masjid, pengantin baru yang dieprkosa di depan suaminya kemudian dihabisi, ada pula pembantaian massal ketika mereka mengungsi, sampai penggunaan amunisi-amunisi terlarang saat mereka melancarkan serangan ke pemukiman penduduk di jalur gaza. Sebut saja bom fosfor, misalnya.
Tak berhenti sampai di situ. Mereka juga memboikot tanah Palestina dari dunia luar. Listrik mati, air diracuni, udarapun tak lagi segar lantaran pencemaran bahan-bahan kimia yang terkandung dalam senjata yang digunakan Israel. Obat-obatanpun tak mereka dapati, kecuali hanya sedikit saja.
Itulah sedikit gambaran yang ditimpakan oleh Israel lantaran menuruti bisikan nafu bejatnya..
Lantas , bagaimana Palestina atas perlakuan biadab itu?

Fasilitas fisik di negeri itu memang hancur lebur. Mulai rumah sakit, sekolah, hingga gedung pemerintahan dan tempat ibadah. Namun, itu semua tidak menjadikan mereka menyerah atau mengeluh. Yang ada adalah semangat jihad yang semakin meninggi. Mereka tidak pernah gentar untuk mati sebagai syuahda’. Mereka rela menumpahkan darah untuk membela Negara, kehormatan dan agama mereka. bahkan, ibu-ibu Palestina dengan sukarela menyerahkan anaknya untuk dididik menjadi mujahid, pejuang kalimat Allah di bumi para nabi itu.
Tidak berhenti sampai urusan ‘perut’ Palestina an sich, kita dibuat terkagum-kagum saat mendapati sebuah fakta ‘aneh’ terkait Palestina.

Berdasarkan pengakuan seorang ustadz yang pernah ke Palestina, beliau menuturkan, “Saya tidak sekalipun mendapati ada pengemis di sana. Sedangkan di negeri kita, di sana sini banyak pengemis.” Mungkin anda akan menjawab enteng, “Kalau ngemis di Palestina, siapa yang mau ngasih?” Memalukan jika anda bedalih seperti itu.
Ustadz yang lain pernah bertutur. Masih ingat kejadian gempa Wasior dan Merapi, Jogja meletus? Ketika itu, salah satu ustadz dari Sahabat Al Aqsha sedang berada di Damaskus. Beliau ditelpon oleh salah satu pemimpin Pergerakan di Palestina. Dari ujung suara, pemimpin pergerakan itu berkata, “Ustadz, segera ke kantor saya. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.”
Sesampainya di kantor, sang ustadz diminta oleh sang pemimpin untuk menceritakan ihwal gempa dan merapi meletus yang tersiar kabarnya sampai ke Palestina itu. Setelah ustadz selesai bercerita, sang pemimpin menyodorkan uang tunai senilai 2000 dolar. Kata pemimpin itu, “Terimalah ini, tanda cinta kami untuk saudara-saudara di Indonesia yang sedang diberi ujian cinta dari Allah. Seribu dolar untuk Wasior, Seribu dollar untuk Jogja.”

Sang ustadz tertunduk haru, air matanya digenangi butiran lembut yang bening. Beliau berucap, “Jazakumullah ahsanal jaza’ ustadz, tapi apakah kami pantas menerima sumbangan dari antum? Sementara antum dan saudara-saudara di Palestina sedang mengalami krisis seperti ini?” Dengan tidak menurangi senyum, sang pemimpin berkata lembut, “Tak apa ustadz, jangan sungkan. Kami adalah saudara antum. Ketika kami susah, rakyat Indonesia membela kami dengan aksi dan kerja nyata. Sekarang kalian tengah diberi musibah, jadi kami memang terpanggil untuk memberi. Meski sedikit, setidaknya itulah bukti cinta kami. Bukankah sesama saudara mukmin seperti satu tubuh?”
Jawaban dari sang pemimpin itu membuat ustadz tidak bisa lagi menolak. Dan dibawalah 2000 dollar itu ke Indonesia. Palestina yang sedang dijajah itu, memberikan sumbangannya untuk Indonesia yang sudah merdeka. Dan dalam waktu berlainan, ketika ada sebagian kaum muslimin yang mencoba membantu Palestina, meski sedikit dan tak seberapa, ada saja orang Indonesia yang berkata santai, bahkan meremehkan, “Ngapain repot ngurusin Palestina?” Na’udzubillah..
Selesaikah cerita keheroikan Palestina itu? Belum!

Kita tentu masih ingat dengan krisis pangan yang terjadi di Somalia. Sebuah Negara muslim yang terletak di benua hitam, Afrika. Ada sebagian dari kita yang peduli, meski terbatas pada mengetahui informasi. Tanpa aksi nyata. Masih dari ustadz yang sama, kebetulan beliau adalah salah satu aktor Media Islam di negeri ini. Beliau mengisahkan tentang Palestina kembali.
Ketika itu, Sang ustadz mendapatkan kabar dari Gaza. Ketika mendengar bahwa di Somalia tengah terjadi krisis, serta merta pergerakan Islam dan warga Palestina langsung menyiapkan bantuan. Mereka mengirimkan beberapa dokter dan bahan makanan serta aneka perhiasan yang mereka miliki. Bahkan, berita ini sempat menjadi headline berita di berbagai penjuru dunia, karena bantuan dari Palestina ke Somalia merupakan bantuan yang lebih dulu tiba dibanding bantuan dari Negera lain. Dan ketika itu, sama seperti ketika mereka membantu Jogja dan Wasior, Palestina tengah dihajar oleh Israel.

Hebat bukan? Ketika nyawa mereka di ujung tanduk sekalipun, masih sempat mengumpulkan bantuan untuk sesama muslim. Ketika ditanya, jawaban mereka tak berubah, “Bukankah sesama muslim itu seperti satu tubuh? Jika di Somalia mereka tengah kelaparan, maka kita berkewajiban untuk membantu, sesuai jangkaun tangan kita.” Subhanallahi Wal hamdulillah.

Dan hingga tulisan ini dibuat, Palestina yang kita cintai masih dijajah. Pertanyaannya : Masihkah kita mengingat mereka? Masihkah kita menyisihkan untuk mereka barang beberapa rupiah dari kemelimpahan materi yang kita miliki? Paling tidak, masihkah kita mengingat mereka dalam doa-doa panjang kita? Atau, jangan-jangan, kita menjadi bagian dari orang (maaf) ‘sok tahu’ yang berkata santai, “Tak usahlah repot mengurusi Palestina. Urus saja masalah di negeri ini.” Jika itu yang terjadi, nampaknya kita mesti memeriksa kadar keimanan kita. Jangan-jangan, iman kita sudah pergi bersama luruhnya empati kita terhadap sesama mukmin. Naudzubillah.
Palestina,
Sungguh!
Kami cemburu padamu!

Palestina,
Doakan kami menjadi setegar dirimu.
Palestina,
Kami ada bersamamu.

Sabtu, 04 Februari 2012

Menanti Hadirnya Kemenangan

Kini, ditengah-tengah terpuruknya umat Islam di bumi ini, dan kemunduran umat ini kita saksikan di setiap langkah kaki kita berpijak. Benar kata Rasulullah SAW, suatu saat nanti Islam di akhir zaman diantara orang-orang kafir bagaikan makanan yang berada disebuah wadah yang diperebutkan oleh orang-orang yang kelaparan. Dan begitu juga umat Islam sendiri bagaikan buih dilautan, banyak tetapi tidak berdaya. Di bumi jihad palestina kita menyaksiakn sendiri bagaimana kaum kafir zionis la’natullah ‘alaihim jami’an yang penduduknya hanya segelintir orang mampu menyiksa, merampas dan membunuh di tengah-tengah bangsa Arab yang mayoritas kaum Muslimin.
Maka sekarang! Kami semua sedang menunggu tibanya hari dimana para aktivis muslim, terkhusus para syabaab, datang dengan ghirah yang membara memperjuangkan Islam dari keterpurukan tersebut. Kami menunggu hari semacam hari dimana Abu Bakar saat terjadi murtad massal, semacam hari Khalid saat perang Yarmuk, semacam hari Sa’ad saat perang Qadishiyah, semacam hari Muhammad Al-Fatih saat penaklukan konstantinopel, dan semacam hari Shalahuddin al-Ayyubi saat menduduki kembali Palestina dalam perang Hithin.

Kami ingin –walaupun sesaat ketika ruh kami telah sampai di tenggorokan- mata kami merasakan sejuknya menyaksikan khilafah Islamiyah, telinga kami mendengar merdunya panji-panji Islam berkibar di Timur dan Barat. Dan badan kami merasakan payungnya yang teduh memenuhi dunia dengan keadilan, kesejahteraan, kebenaran dan petunjuk. Kami sungguh ingin menyaksikan saat Khilafah memandang awan lalu berkata,

“Wahai awan, pergilah ke Timur dan ke Barat dan segala penjuru yang kamu sukai, niscaya kamu pasti akan menjumpaiku disana.”

Kami memimpikan suatu hari seperti harinya Shalahuddin al-Ayyubi menaklukan Yerussalem. Saat beliau dengan jiwa kepemimpinannya mampu untuk menyatukan umat Islam yang dahulunya tercerai berai menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat nan kokoh yang tidak terkalahkan oleh pasukan salib waktu itu.
Kami benar-benar merindukan suatu hari saat Allah lewat tangan Sultan Muhammad Al-Fatih menundukkan Konstantinopel atau Istambul. Beliau berhak menyandang pujian Nabi dalam hadits yang terkenal:
Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Panglima perangnya adalah sebaik-baik panglima, dan pasukannya pun sebaik-baik pasukan. (Imam Ahmad dalam Musnadnya 4/335)
Kami menunggu hari semisal hari-hari itu dengan sangat cemas dan gelisah.
Sesungguhnya kemenangan Islam adalah harapan tertinggi yang menjadi cita-cita seseorang, supaya matanya menjadi sejuk di dunia karenanya.
Hari ini kita merasakan bahwa yang dimaksud dengan kebaikan di dunia yang termuat di dalam firman-Nya,
Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat. (al-Baqarah: 201)
Bahwasanya itu adalah kemenangan Islam dan dien ini. Sungguh, kebaikan yang tak tertandingi. Kebaikan yang menepis segala kelesuan, kegundahan, dan kesedihan, meski salah seorang dari kita mesti kehilangan keluarga, anak, harta, atau kedudukannya di jalan ini.

Kami benar-benar merindukan hari-hari semisal hari kala Allah memenangkan dien-Nya, memuliakan wali-wali-Nya, dan hizb-Nya melebihi kerinduan kami kepada istri-istri kami, anak-anak kami, bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, hal mana kami sudah tidak berjupa dengan mereka selama bertahun-tahun.

Kami benar-benar merindu sejuknya mata kami oleh hari semacam hari ‘Uqbah bin Nafi’, saat ia tegak di atas pelana kudanya, menceburkan kudanya di tepian Samudera Atlantik seraya berkata,”Demi Allah, sekiranya aku tahu bahwa di seberang sana ada daratan, niscaya aku akan berperang di sana di jalan Allah!”

Lalu ia menatap langit seraya berkata, “Wahai Rabbku, jikalau bukan karena lautan ini, niscaya aku akan ke seberang sebagai mujahid di jalanmu
Kami benar-benar menunggu hari-hari itu.
Adakah kalian memenuhinya?
Adakah kalian mengabulkannya?
Oleh: Ibnu Chaldun
(Mahasiswa Teknik Nuklir UGM 2008)

Pemuda Adalah Permata Bangsa

Sosok laki-laki yang masuk ke Indonesia tahun 1924 ini tidak banyak yang tahu, akan tetapi jasanya sangat besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Seorang pedagang yang datang ke Indonesia dengan membawa banyak sekali barang dagangan berupa kain dengan tujuan mendapatkan banyak keuntungan.

Namun ternyata keinginannya tidak berbanding dengan takdir yang Allah tentukan. Ternyata Allah lebih memilih dia menjadi seorang da’i daripada menjadi seorang pedagang.

Awal sampai di Indonesia, dia mendarat di Kota Pahlawan, Surabaya. Niatnya berdagang kain sangatlah besar. Hal tersebut di dukung dengan pabrik kain yang dibuatnya di Surabaya. Akan tetapi masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama daripada bisnis. Namun dia masih tetap menjadi penbisnis kain. Akan tetapi Islam di Indonesia lebih membutuhkannya sebagai seorang da’i daripada seorang penjual kain. Persis yang kalau itu menjadi partai Islam ingin merekrutnya menjadi guru agama di Persis, dia pun menerima, akan tetapi dengan syarat pabrik kainnya yang ada di Surabaya dipindah ke Bandung, di daerah Majalaya tepatnya. Akhirnya permintaaan itu dipenuhi. Akan tetapi selang beberapa lama kemudian pabrik tersebut tidak dapat berkembang pesat, akhirnya dia mencurahkan seluruh waktunya untuk berdakwah. Untuk Dien ini. Untuk Islam.

Dia ingin mengembalikan masyarakat Indonesia yang saat itu sudah mulai tercekoki oleh budaya kristenisasi dan komunisme kepada Al-Qur’an dan hadits. Sedikit demi sedikit dia mampu mngembalikan risalah dakwah ini, dan mengembalikan tradisi sunnah serta mengejawantahkan Al-Qur’an.
Seperti itulah rencana Allah. Kita boleh membuat rencana, akan tetapi Allah lebih berhak menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik untuk kita. Walaupun dia bersikeras untuk mendapatkan keuntungan dari berdagang, akan tetapi Allah berkata lain. Dia –Allah- lebih memilihnya untuk berdakwah. Dia adalah A. Hasan.

Ladang dakwah yang digarapnya adalah pemuda. Dia menganggap pemuda adalah permata bangsa yang sangat mahal. Rusaknya pemuda menandakan rusaknya bangsa pula, oleh karena itu kalau kita ingin melihat banga Indonesia 20 tahun kedepan. Maka lihatlah pemuda yang ada saat ini. Kalau saat ini pemuda jauh dari masjid, maka 20 tahun lagi juga tidak akan jauh beda. Atau bahkan malah lebih parah. Kalau pemudanya takut dengan Islam, maka kedepan tidak akan jauh berbeda.

Kristenisasi dan komunisme menjadi musuh utama Islam kala itu, walaupun ternyata budaya Yahudi dengan Fremasonry nya juga sudah masuk ke Indonesia. Namun nampaknya Yahudi lebih takut dan memilih untuk bersembunyi di belakang kolonialisme.

Dulu berbeda dengan sekarang tantangan dakwahnya, sekarang budaya liberalisme yang membuat kebebasan tanpa batas membuat ummat ini semakin rusak. Itulah kenapa dulu A hasan lebih memilih pemuda untuk digarapnya. Salah satu pemuda hasil didik A. Hasan adalah Moh. Natsir dan Fachroedin. Kedua orang yang memiliki dua sifat yang berbeda ini menjadi anak didik kebanggan A. Hasan. Natsir dengan karakter pendiam, lemah lembut, namun cara bicaranya yang memukau pendengar, atau bahkan dengan logikanya yang rapi dan sangat indah berusaha untuk mengimbangi saudaranya, Fachroedin yang berwatak keras disertai emosi yang meninggi. Dua orang berwatak berbeda namun dengan satu tujuan. Islam.

Sudah siapkah kita untuk generasi pembaharu? Atau bahkan masih duduk terdiam di depan laptop berlayar biru? (red. Facebook). Sudah siapkah kita mengimbangi ladang-ladang dakwah yang lain? Atau bahkan memberikan hijab dengan ladang dakwah yang lain sehingga kita hanya bisa mendengarkan keluhan mereka tanpa turut membantu.

Wallahu ’Alam
Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang