Assalamu'alaikum Sahabat Rohis...Selamat Datang di portal blog Rohis SMK Negeri 2 Depok, Terima Kasih telah berkunjung, Salam Ukhuwah.. ^_^

Sahabat Rohis se-Kota Depok

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad:7)

Barisan Kami..

Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran. Dialah hiasan di kala kita senang dan perisai di kala kita susah.

Inilah Jalan Kami

Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah....(12:108)

Ukhuwahlah Yang Menyatukan Kami

Ukhuwah dan Aqidahlah yang menyatukan kami. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, dan membelah laut.

Minggu, 12 Februari 2012

Dakwah Itu Bukan Aku Atau Kamu, Tapi Kita

 Innamal mukminu na ikhwah. Sesama mukmin itu bersaudara. Seperti yang dijelaskan di catatan sebelumnya kenapa kok memakai kata mukmin, bukan muslim? Persaudaraan yang diikat oleh akidah atau kepercayaan, itu dapat lebih abadi kalau kita benar-benar memahaminya. Pernahkah mendengar cerita Salman Al Farisi? Seorang Majusi yang kemudian berpindah agama menjadi Kristen karena melihat cara beribadah Kristen yang sangatlah baik untuknya. Lalu berpindah-pindah pendeta karena pendeta sebelumnya sudah wafat. Namun ketika pendeta terakhir mau wafat, Salman disuruh pergi menuju tempat yang dipenuhi pohon kurma, disana telah lahir seorang Rasul yang membawa Syafaat untuk seluruh ummat di dunia.

Lalu sepeninggal pendeta itu, salman memenuhi panggilan itu, panggilan untuk mencari Rasulullah. Benar saja, Salman bertemu dengan Rasulullah lalu menyatakan keislamannya secara kaffah. Dan Salman menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah. Peran Salman sangatlah besar untuk ummat ini. Ketika ummat ini hanya berada di daerah yang sangat kecil, yaitu Madinah Al-Mukarromah, musuh-musuh Islam di luar daerah itu bersatu untuk menghancurkan Madinah tempat dimana ummat muslim baru saja berhijrah. Musuh-musuh besar yang mengelilingi kota Madinah ini siap untuk meluluhlantakkan Madinah.

Bisa dibayangkan kalau sekarang seluruh negara-negara besar di dunia seperti AS, Australia, China, Jepang dan India menyerbu Indonesia. Pasti kewalahan untuk menghadapinya. Namun Salman mempunyai ide yang sangatlah tidak biasa bagi orang Muhajirin maupun Anshar. Membuat parit yang mengelilingi kota Madinah. Parit yang dibuat tidak hanya sekedar parit, parit ini sangatlah besar, bahkan kalau orang yang masuk kedalamnya, walaupun saling menjunjung agar bisa sampai ke permukaan, tidak akan sanggup. Sementara lebarnya, kuda saja tidak dapat melewatinya. Bisa dibayangkan betapa cerdiknya generasi-generasi unggul yang dilahirkan dari rahim ukhuwah. Seorang Majusi yang berubah total menjadi Kristen, namun setelah datangnya Islam dia langsung menyambutnya dengan segera dan menyatakan keislamannya.

Generasi terbaik kala itu tidak langsung dilahirkan oleh orang Islam, sama halnya dengan sekarang, hanya berbeda tipis. Generasi terbaik saat ini kebanyakan lahir dari mereka yang ketika menginjak SMA adalah orang-orang ammah, namun ketika berada di kuliah dan mengenal dakwah, mereka akan menjadi generasi-generasi pembaharu, sangat berbeda dengan orang yang sudah merasa mempunyai banyak ilmu, sehingga kebanyakan ketika kuliah susah untuk diajak berdakwah, sehingga susah juga untuk menjadi generasi pembaharu.

Padahal masa-masa kuliah adalah masa yang paling menentukan untuk ke depannya. Banyak yang ketika masih menjadi siswa adalah orang-orang yang biasa bahkan sangat jauh dari kebaikan, namun ketika kuliah, dia sangat dekat sekali dengan kebaikan. Tidak jarang juga mereka yang ketika menjadi siswa sangat dekat dengan kebaikan, tapi ketika menjadi mahasiswa, seakan-akan kebaikan itu terasa jauh. Lingkungan yang tidak mendukung disertai teman-teman yang lebih menyukai duniawi. Atau terkadang disebabkan rasa puas ketika masih menjadi siswa telah melaksanakan banyak kebaikan, lalu buah kebaikan yang dilaksanakan diambil ketika kuliah, sehingga ketika kuliah malah menjadi jauh dari kebaikan karena kepuasan tersebut.

Sangat miris ketika terjadi seperti itu. Padahal kebaikan yang kita lakukan tidak akan pernah habis, sekalipun sudah menjaid mahasiswa, atau bahkan sudah menikah. Ketika ada yang merasa capek dengan dakwah yang terlalu berat, lalu bertanya, ”Kapankah kita akan beristirahat?”. Maka jawablah, ”kita akan beristirahat ketika kaki kita sudah menginjak jannah-Nya”

Jannah, sebuah tempat yang sangat diinginkan oleh setiap orang, namun keinginan tidak sesuai dengan usaha hanya akan berakibat omong kosong belaka. Ibarat mimpi tanpa aksi, yah yang didapat hanyalah khayalan tanpa tindakan. Oleh karena, menjadi orang pintar itu wajib, tapi jangan merasa diri ini paling pintar. Menjadi ‘alim itu juga penting, namun jangan merasa diri ini paling ‘alim sehingga apa yang orang lain perbuat selalu salah dimatanya.

Kembali lagi ke konteks ukhuwah. Saling mengingatkan kondisi saudara di sebelah kita merupakan sebuah kewajiban mutlak kita, ibarat tubuh, ketika salah satu bagian sakit, maka bagian yang lain akan merasakan sakit yang sama. Sama halnya ketika mata sedang kemasukan debu, maka tangan siap untuk melindunginya. Seperti itulah ukhuwah, sangat erat, dekat, cepat, serta saling mengerti satu sama lain. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling menyombongkan dirinya.

Apa yang terjadi ketika jempol menyombongkan dirinya karena dia lah yang terhebat. Jempol digunakan untuk memberikan tanda dedikasi atas kehebatan seseorang. Lain jempol, lain pula dengan telunjuk, jari telunjuk digunakan untuk menunjuk, kalau tidak ada telunjuk, maka orang tidak akan tahu jalan. Yang selanjutnya adalah jari tengah, dia yang paling tinggi diantara yang lain. Yang keempat adalah jari manis, jari ini digunakan untuk menerima cincin pernikahan. Dan yang terakhir, yang paling mengenaskan adalah kelingking. Selain dialah yang paling kecil, kegunaannya yang lain salah satunya adalah untuk mengecek keberadaan telur di dalam ayam. Karena saking kecilnya lubang telur ayam, maka yang pas masuk hanyalah kelingking. Bayangkan jika jempol yang dimasukkan kesitu? Pasti keesokan harinya si ayam tidak mau bertelur lagi. Apa yang akan terjadi ketika kelima jari tersebut disuruh mengangkat kardus namun masing-masing dari mereka saling menjauh karena sangking sombongnya? Seperti itukah kita?

Kelima jari-jari tersebut memiliki keistimewaan masing-masing, apa yang dimiliki jempol belum tentu dimiliki oleh kelingking, begitu pula sebaliknya. Seharusnya kita dapat mengambil ibrah darisini. Apa yang kita miliki belum tentu dimiliki orang lain, begitu pula selanjutnya. Oleh karena itu dibutuhkan ukhuwah untuk saling mengisi.

Mengemban dakwah bukan tugas satu orang atau dua orang saja, bukan tugas satu kelompok atau dua kelompok saja, bukan tugas satu organisasi atau dua organisasi saja, bukan pula tugas satu kampus atau dua kampus saja, dan juga bukan tugas satu negara atau dua negara saja. Namun ini tugas kita semua. Meninggikan kalimat tauhid yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu, yaitu Allah adalah tugas kita semua. Namun seperti itukah kita sekarang? Kita lebih terfokus pada ini hakku, ini hak kamu. Ini kewajibanku, ini kewajiban kamu. Kalau terus-terusan seperti itu tanpa saling menopang, bagaimana Dien ini bisa bersatu? Saling bahu-membahu menjadi peran yang paling penting dalam persaudaraan. Ketika saudara kita bersemangat, kenapa kita tidak?

Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang

Kamis, 09 Februari 2012

Jatuh Cinta Pada Palestina..

Mungkin Anda akan bosan ketika saya membicarakan Palestina. Biarlah! Kali ini saya hanya akan menyampaikan sebuah fakta tentang Palestina yang pantang menyerah, Israel yang kurang ajar dan Indonesia yang memalukan. Maaf! Kalimat saya agak kasar. Jangan kemudian Anda tersinggung ketika saya berkata, “Indonesia yang memalukan.” Kalimat itu hanya fakta. Jika Anda menanyakan nasionalisme yang ada pada diri saya, maka silahkan lukai tubuh saya! Niscaya Anda akan mendapati: Merah darahku, Putih Tulangku. Dan merah putih adalah bendera kebangsaan, Aku Cinta Indonesia.

Yang saya maksud dengan Indonesia yang memalukan adalah mereka yang memang tidak tahu diri atau mereka yang memang tidak mau tahu. Tanya saja kepada mereka yang berdasi, duduk di ruangan berpendingin dan busung perutnya lantaran memakan uang rakyat. Saya yakin, Anda pasti mengenalnya.
Anda pasti sering mendengarkan kalimat ini, “Ngapain repot membantu Palestina? Ngurus Indonesia saja tidak becus? Masih banyak pengangguran, kemiskinan merajalela dan aneka ketimpangan lainnya?” Pernah, kan? Atau saya curiga, jangan-jangan Andalah salah satu orang yang sempat  berpikiran sepicik itu atau barangkali pernah mengucapkannya? Jika ‘Ya’, teruskan baca tulisan ini, dan bertaubatlah dari apa yang Anda ucapkan. Jika ‘tidak’, lanjutkan saja membaca, semoga ada ilmu yang bisa Anda dapatkan.
Palestina adalah negeri suci. Ia adalah simbol Islam lantaran di dalamnya ada masjid Al Aqsha. Masjid yang menjadi saksi peristiwa Isra’ Mi’raj, masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam, dan masjid yang diberi pahala berlipat ganda manakala kita sholat di dalamnya dan  masjid yang keberkahannya terekam jelas dalam Al Qur’an Surah Al Isra’ ayat Pertama.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia   adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Israel Ilegal

Israel adalah negara tidak sah. Ia yang awalnya ditumpangi oleh Palestina, kini malah mengusir dan membunuhi tuan rumah. Warga Palestina yang sejatinya pemilik resmi tanah suci itu diusir paksa. Ancamannya mengerikan, “Pergi atau mati!” Apa yang Anda lakukan jika hal itu terjadi pada kita dan Indonesia? Sebagai orang yang ‘waras’, Anda pasti akan melawan, bukan?  Dan hal itulah yang pernah kita alami saat Belanda, Jepang dan Portugis menjajah negeri kita. Ketika dulu kita menggunakan Bambu Runcing, maka kini , Palestina hanya menggunakan batu. Tolong camkan, batu!
Israel tidak sendiri. Kalau sendiri berarti mereka jantan. Ia mengajak banyak teman. Bosnya adalah negri Paman Sam. Tercatat, negeri itu membantu sekitar 620 juta Dolar AS pertahun untuk membiayai perang Israel melawan Palestina. Belum lagi dengan bantuan senjata yang dijual murah, kekuatan diplomasi via PBB dan seterusnya. Termasuk juga melalui penjualan-penjualan produk yahudi yang melonjak drastis di seluruh dunia, termasuk di negeri kita juga.

Mungkin, kita tidak menyadari, bahwa ada sebagian uang kita yang mengalir ke kantong Israel melalui pembelanjaan beberapa barang yang memang mensponsori mereka.
Bukan main peran yang dilakukan oleh Israel dalam upaya memusnahkan segala yang bermerk Palestina. Dalihnya adalah pejuang militan Palestina yang mereka labeli dengan teroris. Dari sana, mereka kemudian menembaki anak-anak, para pemuda, ibu hamil juga orang-orang jompo yang tidak berdosa. Bahkan, cara yang mereka lakukan tak kalah bejatnya.

Ada yang diberondong dengan peluru ketika shalat berjama’ah di masjid, pengantin baru yang dieprkosa di depan suaminya kemudian dihabisi, ada pula pembantaian massal ketika mereka mengungsi, sampai penggunaan amunisi-amunisi terlarang saat mereka melancarkan serangan ke pemukiman penduduk di jalur gaza. Sebut saja bom fosfor, misalnya.
Tak berhenti sampai di situ. Mereka juga memboikot tanah Palestina dari dunia luar. Listrik mati, air diracuni, udarapun tak lagi segar lantaran pencemaran bahan-bahan kimia yang terkandung dalam senjata yang digunakan Israel. Obat-obatanpun tak mereka dapati, kecuali hanya sedikit saja.
Itulah sedikit gambaran yang ditimpakan oleh Israel lantaran menuruti bisikan nafu bejatnya..
Lantas , bagaimana Palestina atas perlakuan biadab itu?

Fasilitas fisik di negeri itu memang hancur lebur. Mulai rumah sakit, sekolah, hingga gedung pemerintahan dan tempat ibadah. Namun, itu semua tidak menjadikan mereka menyerah atau mengeluh. Yang ada adalah semangat jihad yang semakin meninggi. Mereka tidak pernah gentar untuk mati sebagai syuahda’. Mereka rela menumpahkan darah untuk membela Negara, kehormatan dan agama mereka. bahkan, ibu-ibu Palestina dengan sukarela menyerahkan anaknya untuk dididik menjadi mujahid, pejuang kalimat Allah di bumi para nabi itu.
Tidak berhenti sampai urusan ‘perut’ Palestina an sich, kita dibuat terkagum-kagum saat mendapati sebuah fakta ‘aneh’ terkait Palestina.

Berdasarkan pengakuan seorang ustadz yang pernah ke Palestina, beliau menuturkan, “Saya tidak sekalipun mendapati ada pengemis di sana. Sedangkan di negeri kita, di sana sini banyak pengemis.” Mungkin anda akan menjawab enteng, “Kalau ngemis di Palestina, siapa yang mau ngasih?” Memalukan jika anda bedalih seperti itu.
Ustadz yang lain pernah bertutur. Masih ingat kejadian gempa Wasior dan Merapi, Jogja meletus? Ketika itu, salah satu ustadz dari Sahabat Al Aqsha sedang berada di Damaskus. Beliau ditelpon oleh salah satu pemimpin Pergerakan di Palestina. Dari ujung suara, pemimpin pergerakan itu berkata, “Ustadz, segera ke kantor saya. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.”
Sesampainya di kantor, sang ustadz diminta oleh sang pemimpin untuk menceritakan ihwal gempa dan merapi meletus yang tersiar kabarnya sampai ke Palestina itu. Setelah ustadz selesai bercerita, sang pemimpin menyodorkan uang tunai senilai 2000 dolar. Kata pemimpin itu, “Terimalah ini, tanda cinta kami untuk saudara-saudara di Indonesia yang sedang diberi ujian cinta dari Allah. Seribu dolar untuk Wasior, Seribu dollar untuk Jogja.”

Sang ustadz tertunduk haru, air matanya digenangi butiran lembut yang bening. Beliau berucap, “Jazakumullah ahsanal jaza’ ustadz, tapi apakah kami pantas menerima sumbangan dari antum? Sementara antum dan saudara-saudara di Palestina sedang mengalami krisis seperti ini?” Dengan tidak menurangi senyum, sang pemimpin berkata lembut, “Tak apa ustadz, jangan sungkan. Kami adalah saudara antum. Ketika kami susah, rakyat Indonesia membela kami dengan aksi dan kerja nyata. Sekarang kalian tengah diberi musibah, jadi kami memang terpanggil untuk memberi. Meski sedikit, setidaknya itulah bukti cinta kami. Bukankah sesama saudara mukmin seperti satu tubuh?”
Jawaban dari sang pemimpin itu membuat ustadz tidak bisa lagi menolak. Dan dibawalah 2000 dollar itu ke Indonesia. Palestina yang sedang dijajah itu, memberikan sumbangannya untuk Indonesia yang sudah merdeka. Dan dalam waktu berlainan, ketika ada sebagian kaum muslimin yang mencoba membantu Palestina, meski sedikit dan tak seberapa, ada saja orang Indonesia yang berkata santai, bahkan meremehkan, “Ngapain repot ngurusin Palestina?” Na’udzubillah..
Selesaikah cerita keheroikan Palestina itu? Belum!

Kita tentu masih ingat dengan krisis pangan yang terjadi di Somalia. Sebuah Negara muslim yang terletak di benua hitam, Afrika. Ada sebagian dari kita yang peduli, meski terbatas pada mengetahui informasi. Tanpa aksi nyata. Masih dari ustadz yang sama, kebetulan beliau adalah salah satu aktor Media Islam di negeri ini. Beliau mengisahkan tentang Palestina kembali.
Ketika itu, Sang ustadz mendapatkan kabar dari Gaza. Ketika mendengar bahwa di Somalia tengah terjadi krisis, serta merta pergerakan Islam dan warga Palestina langsung menyiapkan bantuan. Mereka mengirimkan beberapa dokter dan bahan makanan serta aneka perhiasan yang mereka miliki. Bahkan, berita ini sempat menjadi headline berita di berbagai penjuru dunia, karena bantuan dari Palestina ke Somalia merupakan bantuan yang lebih dulu tiba dibanding bantuan dari Negera lain. Dan ketika itu, sama seperti ketika mereka membantu Jogja dan Wasior, Palestina tengah dihajar oleh Israel.

Hebat bukan? Ketika nyawa mereka di ujung tanduk sekalipun, masih sempat mengumpulkan bantuan untuk sesama muslim. Ketika ditanya, jawaban mereka tak berubah, “Bukankah sesama muslim itu seperti satu tubuh? Jika di Somalia mereka tengah kelaparan, maka kita berkewajiban untuk membantu, sesuai jangkaun tangan kita.” Subhanallahi Wal hamdulillah.

Dan hingga tulisan ini dibuat, Palestina yang kita cintai masih dijajah. Pertanyaannya : Masihkah kita mengingat mereka? Masihkah kita menyisihkan untuk mereka barang beberapa rupiah dari kemelimpahan materi yang kita miliki? Paling tidak, masihkah kita mengingat mereka dalam doa-doa panjang kita? Atau, jangan-jangan, kita menjadi bagian dari orang (maaf) ‘sok tahu’ yang berkata santai, “Tak usahlah repot mengurusi Palestina. Urus saja masalah di negeri ini.” Jika itu yang terjadi, nampaknya kita mesti memeriksa kadar keimanan kita. Jangan-jangan, iman kita sudah pergi bersama luruhnya empati kita terhadap sesama mukmin. Naudzubillah.
Palestina,
Sungguh!
Kami cemburu padamu!

Palestina,
Doakan kami menjadi setegar dirimu.
Palestina,
Kami ada bersamamu.

Sabtu, 04 Februari 2012

Menanti Hadirnya Kemenangan

Kini, ditengah-tengah terpuruknya umat Islam di bumi ini, dan kemunduran umat ini kita saksikan di setiap langkah kaki kita berpijak. Benar kata Rasulullah SAW, suatu saat nanti Islam di akhir zaman diantara orang-orang kafir bagaikan makanan yang berada disebuah wadah yang diperebutkan oleh orang-orang yang kelaparan. Dan begitu juga umat Islam sendiri bagaikan buih dilautan, banyak tetapi tidak berdaya. Di bumi jihad palestina kita menyaksiakn sendiri bagaimana kaum kafir zionis la’natullah ‘alaihim jami’an yang penduduknya hanya segelintir orang mampu menyiksa, merampas dan membunuh di tengah-tengah bangsa Arab yang mayoritas kaum Muslimin.
Maka sekarang! Kami semua sedang menunggu tibanya hari dimana para aktivis muslim, terkhusus para syabaab, datang dengan ghirah yang membara memperjuangkan Islam dari keterpurukan tersebut. Kami menunggu hari semacam hari dimana Abu Bakar saat terjadi murtad massal, semacam hari Khalid saat perang Yarmuk, semacam hari Sa’ad saat perang Qadishiyah, semacam hari Muhammad Al-Fatih saat penaklukan konstantinopel, dan semacam hari Shalahuddin al-Ayyubi saat menduduki kembali Palestina dalam perang Hithin.

Kami ingin –walaupun sesaat ketika ruh kami telah sampai di tenggorokan- mata kami merasakan sejuknya menyaksikan khilafah Islamiyah, telinga kami mendengar merdunya panji-panji Islam berkibar di Timur dan Barat. Dan badan kami merasakan payungnya yang teduh memenuhi dunia dengan keadilan, kesejahteraan, kebenaran dan petunjuk. Kami sungguh ingin menyaksikan saat Khilafah memandang awan lalu berkata,

“Wahai awan, pergilah ke Timur dan ke Barat dan segala penjuru yang kamu sukai, niscaya kamu pasti akan menjumpaiku disana.”

Kami memimpikan suatu hari seperti harinya Shalahuddin al-Ayyubi menaklukan Yerussalem. Saat beliau dengan jiwa kepemimpinannya mampu untuk menyatukan umat Islam yang dahulunya tercerai berai menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat nan kokoh yang tidak terkalahkan oleh pasukan salib waktu itu.
Kami benar-benar merindukan suatu hari saat Allah lewat tangan Sultan Muhammad Al-Fatih menundukkan Konstantinopel atau Istambul. Beliau berhak menyandang pujian Nabi dalam hadits yang terkenal:
Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Panglima perangnya adalah sebaik-baik panglima, dan pasukannya pun sebaik-baik pasukan. (Imam Ahmad dalam Musnadnya 4/335)
Kami menunggu hari semisal hari-hari itu dengan sangat cemas dan gelisah.
Sesungguhnya kemenangan Islam adalah harapan tertinggi yang menjadi cita-cita seseorang, supaya matanya menjadi sejuk di dunia karenanya.
Hari ini kita merasakan bahwa yang dimaksud dengan kebaikan di dunia yang termuat di dalam firman-Nya,
Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat. (al-Baqarah: 201)
Bahwasanya itu adalah kemenangan Islam dan dien ini. Sungguh, kebaikan yang tak tertandingi. Kebaikan yang menepis segala kelesuan, kegundahan, dan kesedihan, meski salah seorang dari kita mesti kehilangan keluarga, anak, harta, atau kedudukannya di jalan ini.

Kami benar-benar merindukan hari-hari semisal hari kala Allah memenangkan dien-Nya, memuliakan wali-wali-Nya, dan hizb-Nya melebihi kerinduan kami kepada istri-istri kami, anak-anak kami, bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, hal mana kami sudah tidak berjupa dengan mereka selama bertahun-tahun.

Kami benar-benar merindu sejuknya mata kami oleh hari semacam hari ‘Uqbah bin Nafi’, saat ia tegak di atas pelana kudanya, menceburkan kudanya di tepian Samudera Atlantik seraya berkata,”Demi Allah, sekiranya aku tahu bahwa di seberang sana ada daratan, niscaya aku akan berperang di sana di jalan Allah!”

Lalu ia menatap langit seraya berkata, “Wahai Rabbku, jikalau bukan karena lautan ini, niscaya aku akan ke seberang sebagai mujahid di jalanmu
Kami benar-benar menunggu hari-hari itu.
Adakah kalian memenuhinya?
Adakah kalian mengabulkannya?
Oleh: Ibnu Chaldun
(Mahasiswa Teknik Nuklir UGM 2008)

Pemuda Adalah Permata Bangsa

Sosok laki-laki yang masuk ke Indonesia tahun 1924 ini tidak banyak yang tahu, akan tetapi jasanya sangat besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Seorang pedagang yang datang ke Indonesia dengan membawa banyak sekali barang dagangan berupa kain dengan tujuan mendapatkan banyak keuntungan.

Namun ternyata keinginannya tidak berbanding dengan takdir yang Allah tentukan. Ternyata Allah lebih memilih dia menjadi seorang da’i daripada menjadi seorang pedagang.

Awal sampai di Indonesia, dia mendarat di Kota Pahlawan, Surabaya. Niatnya berdagang kain sangatlah besar. Hal tersebut di dukung dengan pabrik kain yang dibuatnya di Surabaya. Akan tetapi masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama daripada bisnis. Namun dia masih tetap menjadi penbisnis kain. Akan tetapi Islam di Indonesia lebih membutuhkannya sebagai seorang da’i daripada seorang penjual kain. Persis yang kalau itu menjadi partai Islam ingin merekrutnya menjadi guru agama di Persis, dia pun menerima, akan tetapi dengan syarat pabrik kainnya yang ada di Surabaya dipindah ke Bandung, di daerah Majalaya tepatnya. Akhirnya permintaaan itu dipenuhi. Akan tetapi selang beberapa lama kemudian pabrik tersebut tidak dapat berkembang pesat, akhirnya dia mencurahkan seluruh waktunya untuk berdakwah. Untuk Dien ini. Untuk Islam.

Dia ingin mengembalikan masyarakat Indonesia yang saat itu sudah mulai tercekoki oleh budaya kristenisasi dan komunisme kepada Al-Qur’an dan hadits. Sedikit demi sedikit dia mampu mngembalikan risalah dakwah ini, dan mengembalikan tradisi sunnah serta mengejawantahkan Al-Qur’an.
Seperti itulah rencana Allah. Kita boleh membuat rencana, akan tetapi Allah lebih berhak menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik untuk kita. Walaupun dia bersikeras untuk mendapatkan keuntungan dari berdagang, akan tetapi Allah berkata lain. Dia –Allah- lebih memilihnya untuk berdakwah. Dia adalah A. Hasan.

Ladang dakwah yang digarapnya adalah pemuda. Dia menganggap pemuda adalah permata bangsa yang sangat mahal. Rusaknya pemuda menandakan rusaknya bangsa pula, oleh karena itu kalau kita ingin melihat banga Indonesia 20 tahun kedepan. Maka lihatlah pemuda yang ada saat ini. Kalau saat ini pemuda jauh dari masjid, maka 20 tahun lagi juga tidak akan jauh beda. Atau bahkan malah lebih parah. Kalau pemudanya takut dengan Islam, maka kedepan tidak akan jauh berbeda.

Kristenisasi dan komunisme menjadi musuh utama Islam kala itu, walaupun ternyata budaya Yahudi dengan Fremasonry nya juga sudah masuk ke Indonesia. Namun nampaknya Yahudi lebih takut dan memilih untuk bersembunyi di belakang kolonialisme.

Dulu berbeda dengan sekarang tantangan dakwahnya, sekarang budaya liberalisme yang membuat kebebasan tanpa batas membuat ummat ini semakin rusak. Itulah kenapa dulu A hasan lebih memilih pemuda untuk digarapnya. Salah satu pemuda hasil didik A. Hasan adalah Moh. Natsir dan Fachroedin. Kedua orang yang memiliki dua sifat yang berbeda ini menjadi anak didik kebanggan A. Hasan. Natsir dengan karakter pendiam, lemah lembut, namun cara bicaranya yang memukau pendengar, atau bahkan dengan logikanya yang rapi dan sangat indah berusaha untuk mengimbangi saudaranya, Fachroedin yang berwatak keras disertai emosi yang meninggi. Dua orang berwatak berbeda namun dengan satu tujuan. Islam.

Sudah siapkah kita untuk generasi pembaharu? Atau bahkan masih duduk terdiam di depan laptop berlayar biru? (red. Facebook). Sudah siapkah kita mengimbangi ladang-ladang dakwah yang lain? Atau bahkan memberikan hijab dengan ladang dakwah yang lain sehingga kita hanya bisa mendengarkan keluhan mereka tanpa turut membantu.

Wallahu ’Alam
Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang

Hijrah jadi ikhwan dan akhwat..??

 “Ati-ati, ya, Bo’. Mudah-mudahan lu dapet tambahan temen yang baek-baek,” cukup tulus Bebi alias Bobi melepas kepergian Tita yang sering dipeleset jadi Tito.
“Elu, kayak gue mo ngerantau aja!”
“Dadah Tito…!” Bobi melambai sebelah tangan, Tita cuma nyengir sambil meninggalkan salon sekaligus studio foto tempat mereka berdua bekerja. Bobi sebagai perias salon dan Tita sebagai desainer grafis yang mengolah foto sesuai permintaan klien.

Ahad, seperti biasanya Tita pulang lebih awal. Kesempatan itu ia gunakan untuk memenuhi undangan sebuah komunitas penulis muda, sebagai jawaban atas surat permohonan bergabungnya. Karena organisasi ini baru saja berdiri, maka mereka masih membutuhkan banyak SDM, baik untuk pengurus maupun sekadar anggota biasa. Tita memang masih berupaya memanfaatkan sedikit waktunya untuk menuangkan ide penulisan di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan studio foto dan mahasiswa kelas ekstensi. Sedangkan Bobi yang dapat bagian pulang lebih awal pada hari jumat, mengaku sudah capek mikir kecuali kalau yang dipikirin adalah duit. Alhasil, ia tidak kuliah dan lebih suka kerja, juga ngerumpi.
***
“Mahasiswa kok mikirnya lemot amat!”
“Makanya lu diem, biar gue bisa konsen.”
“Jendela, kali!”

Bobi dan Tita sedang debat membahas kelanjutan nasib Tita di organisasi yang kemarin ia datangi.
“Menurut gue organisasi itu bagus buat lu, kali-kali aja lu bisa insaf,” Bobi ngasih pendapat setengah hati. Antara setuju dan lucu, membayangkan rekan kerjanya yang super kaku dan nggak ada gemulai-gemulainya itu berkumpul dengan para jilbaber yang bajunya pada gombrang.

“Gue ngerasa kayak penyamun di sarang perawan.”
“Hua ha… ha ha…, tadinya gue pengen ngomong begitu tapi gak tega, taunya lu nyadar sendiri,” Bobi ngakak di depan toilet. Hari Senin pelanggan salon sepi, sementara Tita terus sibuk dengan Photoshopnya.
“Tulisan gue gak nyambung banget dengan tulisan mereka. Dan lagi lu tau kan, gue orangnya gak pedulian, sedangkan mereka tuh rata-rata ker banget sama orang lain.” Jari-jari tangan kiri Tita beberapa kali menekan tombol Ctrl, Alt, dan Z, yang berarti ia telah berulang kali melakukan kesalahan.
“Tapi gue yakin lu sebenernya tertarik buat gabung. Buktinya lu ragu, kalo nggak, lu jelas udah cabut aja. Nggak usah lama-lama mikir!”
“He eh, lu lembek-lembek pinter juga.”
“Lembek, lu kira gue tape.”
“Tape rekorder keras lagi.”
“Tip.”
“Tip yang berupa duit ato saran-saran?”
“Au’ ah, eneg gue!”
Seorang ibu dengan dua anak perempuannya memasuki salon, Bobi siap memvermak mereka, sedang Tita mempersiapkan kamera dijital, siapa tahu mereka minta difoto.
***
Tita sudah resmi menjadi anggota organisasi penulis muda, walau cuma anggota biasa, ia tidak keberatan. Tita memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan apa pun karena waktunya banyak tersita oleh pekerjaan yang terkesan ringan padahal butuh konsentrasi dan kepekaan seni yang baik.
Ahad siang, kembali Tita mendatangi sekretariat diantar oleh Bobi. Bobi yang mengantar malah duduk memboceng di belakang sementara Tita dengan gaya koboinya menarik gas kencang sembari memainkan gigi-gigi di kaki kirinya. Teman-teman yang berada di depan sekretariat berdecak prihatin dengan gelengan khawatir.
“Si cewek macho dan cowok tomboy itu punya nyawa berapa biji sih?”
“Tau, dasar alien.”
“Ehm, akhwat kok doyan ghibah,” seorang jilbaber yang lebih dewasa menegur dua yuniornya.
“Akhwat kan perempuan juga, Kak.”
“Akhwat juga perempuan…,” Tita yang baru turun dari sepeda motor menyanyi sumbang saat melintasi tiga jilbaber teman barunya. “Assalamualaikum” ralatnya kemudian.
Salam dibalas, disambung cipika cipiki khas cewek.
“Yang tadi ngantar siapa, Dik?” tanya jilbaber dewasa yang biasa dipanggil Kak Dela.
“Bukan siapa-siapa, cuma tetangga.”
“Teman di rumah?”
“Bukan juga, tapi tetangga di kerjaan. Dia duduk di bagian sana, Tita duduk di sebelah sini.” Tita menunjuk ke dua arah berbeda sambil terkekeh ringan.
“Tapi asli bukan saudara, kan?” Kak Dela memburu dengan sabar.
“Ih, amit-amit deh punya sodara dia, tapi orangnya baek lo, Kak Dela mo nitip salam?”
“Nggak, cuma mo ngasih tau.”
“Gimana kalo taunya diganti duit aja?”    
Sabar… sabar.
“Nggak baik laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dua-duaan,” Kak Dela terpaksa menembak langsung.
“Ha ha… dijamin seribu persen deh Kak, kita gak bakal pacaran!” tawa Tita membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh.
“Bagus kalo kamu tau pacaran itu gak boleh, tapi…”
“Oo, ada aturan gak boleh pacaran di organisasi ini, ya?” Tita memotong.
“Bukan, bukan organisasi ini yang melarang, tapi Allah.”
Kerongkongan Tita seketika kering, rahangnya kaku, dan lidahnya tiba-tiba serasa memendek, singkatnya nggak bisa ngomong.
“Terlalu berat untuk dipahami, ya? Kalo gitu kamu gabung aja ke pengajian, banyak manfaatnya, lo.” Kak Dela memutuskan untuk bergerak perlahan.
“Liat sikon, deh.”
“Kamu juga bisa ajak temen kamu itu, tapi dia sama yang ikhwan.”
“Jangan, Kak!”
“Kenapa?”
“Ntar dia naksir mereka.”
“Astaghfirullah….”
***
Bobi mengelus-elus dagunya yang klimis, “Ntar jangan-jangan kita diajarin ngerakit bom.”
“Lu kemakan fitnah, itu kan kerjaan orang-orang yang nggak suka sama Islam, mencitraburukkan dengan tuduhan teroris,” kali ini Tita serius.
“Lu duluan deh, kalo kayaknya enak, baru gue ikutan,” Bobi akhirnya menolak ajakan Tita untuk bergabung di pengajian.
“Lupa ya, kalo yang enak-enak kan biasanya gue makan sendiri.”
“Tapi janji, lu gak boleh berubah.”
“Percuma dong kalo nggak ada perubahan, mending nggak usah tau dari awal.”
“Maksud gue, kalopun berubah, yang baek-baek aja.”
“Insya Allah.”
Bobi menoleh kaget, “Dari mana lu nemu kata itu?”
“Ck, dari lahir Emak gue udah ngajarin, tapi baru kepake sekarang.”
***
Suasana salon sekaligus studio foto sepi, hanya terdengar dengungan halus CPU dan sandal Bobi yang sesekali dibawa melangkah, mengitari seorang ibu muda yang minta dirias untuk ke pesta. Mata Bobi sendiri merah sejak kemarin, beberapa langganan yang tidak tahu sebabnya selalu membuang muka saat bersitatap dengan Bobi karena takut ketularan. Bobi sengaja merahasiakan penyebab matanya memerah, kecuali Yang Di Atas, hanya dia dan Tita yang tahu.
Tita yang ceriwis jadi tak punya tandingan saat Bobi mogok bicara, tapi ada hikmahnya. Di hari-hari biasa ia hanya bisa mengerjakan sekitar sepuluh foto, tapi sejak Bobi jadi pendiam, pekerjaan Tita yang biasa dilakukan dua hari, kini bisa selesai hanya dalam satu hari saja.
Sisi kanan dan kiri jilbab Tita yang mulai ia kenakan dua hari lalu membuatnya lebih konsentrasi ke monitor computer. Tapi di mata Bobi, Tita malah terkesan sombong. Bagaimana tidak, jika sedang beradu ngambek biasanya mereka saling curi-curi pandang. Tapi sekarang, Tita tidak pernah melakukan itu dan jika Bobi yang melakukannya, tak sedikit pun Tita bereaksi. Bobi terlalu berprasangka buruk, ia tidak tahu bahwa Tita memang tidak melihat aksinya karena tertutup sisi jilbab tadi.
***
“Gimana eike gak kesel, Bos. Masak mentang-mentang udah gabung sama orang shaleh trus dia gak mau kesentuh dikit aja,” Bobi melepas uneg-unegnya ke Bos Coki, warga keturunan, pemilik salon dan studio foto.
“Masak kamu nggak ngerti ajaran agama sendiri,” Bos Coki tidak bermaksud membela Tita, ia sendiri lumayan uring-uringan melihat suasana kaku di tempat usahanya, yang membuat para pelanggan mengeluh.
“Oke Bos, sebagai temen eike seneng kok kalo dia jadi orang baek, alim, pake jilbab, tapi mbok ya memperlakukan orang jangan kayak jijik gitu.”
“Jijik gimana?”
“Salaman nggak mau, diajak ngobrol matanya ke mana-mana, rasanya tuh eike kayak divonis aja!”
“Ha ha…, itu bukti bahwa dia masih menganggap kamu laki-laki! Kamu tau, saya pun diperlakukan begitu, tapi saya percaya dia nggak berubah total sampai-sampai menjauhi kamu, seperti yang kamu tuduhkan.”
“Sumpe Bos?”
“Suer. Makanya dia minta saya untuk menjelaskan ke kamu, supaya kamu bisa ngerti.”
Bobi kembali mengelus-elus dagunya, beberapa helai rambut mini bermunculan lagi. Bobi bersiap dengan gunting di depan cermin untuk membabat habis benda serupa benang itu. Tapi kemudian niat itu ia batalkan sendiri.
“Kalian bener, gue emang laki-laki!” tegasnya pada cermin toilet.
***
“Lu yakin, pengajian mana aja gratis?”
“Laporin ke gue kalo ada yang minta bayaran!”
Suasana salon dan studio foto mulai hidup kembali.
“Trus kalo gue lapor ke elu, mo lu apain tuh pengajian?”
“Ya gue tanya berapa duit, trus duitnya buat apaan, ada bagi hasilnya nggak?” Tita cekikikan tertunduk, hanya jilbab yang bergoyang tampak di mata Bobi.
“Nanti di sana ada formulirnya?”
“Formulir apaan?”
“Buat jadi ikhwan,” Bobi serius.
“Kalo bukan karena jilbab ini, gue mungkin udah ngakak abis, he he…,” Tita melepas mouse di tangannya dan merebahkan punggung ke sandaran kursi.
“Mo jadi akhwat ato ikhwan gak perlu formulir, lu jangan sok formal gitu ah, biasa-biasa aja!”
“Trus gimana orang tau kalo gue ikhwan?”
“Nah itu dia, lu jadi ikhwan karena siapa, karena Allah ato manusia?”
Bobi malah diam ditanya demikian.
“Kalo karena Allah, manusia gak perlu tau dan kalopun nantinya lu bisa berubah dari segi fisik, maksud gue jenggot, model celana, dan semacemnya, itu juga bukan buat diliat ato dinilai manusia.”
Bobi mengangguk-angguk tanpa bicara.
“Jadi sekarang, lu jalanin aja dulu, jangan terlalu maksa, gak usah dengerin cemooh dan pujian orang, dan…”
“Dan apa?”
“Kita tetap berteman!”
Bobi dan Tita tersenyum bersamaan, Bobi menghadap cermin toilet dan Tita berhadapan dengan monitor komputer.

Dhuha, 15 Ramadhan 1426 - Syarifah L

Aktifis Yang Tertukar

Siang hari di sebuah masjid di bilangan Kota Depok. Jam dinding yang berada di tembok mihrab menampilkan susunan jarum-jarum yang terbaca sebagai pukul 12.35. Beberapa orang tengah beraktifitas di masjid itu, ada yang mendirikan sholat, dan ada yang khusyuk berdzikir. Shalat zhuhur berjamaah baru saja ditunaikan.

Dan tiga orang tengah berbincang di depan mimbar.

"Kamu sudah mantap memeluk Islam?" Tanya seorang paruh baya, jauh lebih tua dari dua orang yang lain.

"Sudah pak haji." Jawab orang yang ditanya.

"Nama kamu siapa?" Orang yang dipanggil Pak Haji itu bertanya lagi.

"Sugono."

"Sugono, Insya Allah keislaman kamu akan disambut hangat oleh saudara-saudara muslim kamu. Jamaah Masjid Nurul Iman ini akan bahagia saat kamu mengucapkan dua kalimat syahadat nanti. Oh iya, kamu ingin ganti nama? Jadi nama Islam?"

Orang yang menyebut namanya Sugono itu diam.

"Namanya sudah Islam kok, Pak Haji." Orang yang di samping Sugono mengangkat suara.

"Lho? Memang nama lengkap teman kamu ini siapa?"

"Muhammad Sugono." Jawab temannya Sugono, sembari memalingkan muka ke arah yang punya nama. Sugono mengangguk pelan.

Pak Haji mengernyitkan dahinya. Terlihat berpikir keras, tapi sesungguhnya kebingungan.

"Dia Islam dari lahir, Pak Haji. Tapi sempat terpeleset pindah agama selama beberapa waktu. Sekarang ingin kembali memasuk Islam.”

Pak Haji nampak makin kebingungan. "Tapi... saya memang seperti pernah melihat kamu. Di masjid ini." Ujarnya.

"Ya Pak Haji. Dulu saya memang sering ke masjid ini untuk rapat organisasi muda muslim Depok. Dua tiga tahun lalu saya sering di sini. Bahkan pernah ikut acara malam ibadah atau mabit di sini."

Pak Haji menatap tajam ke arah Sugono yang menunduk. Suara Sugono terdengar mencekat. Perlahan setetes air mata mengalir dari matanya. "Panjang ceritanya, Pak Haji..." Ujarnya.

******

Beberapa bulan lalu, tepat di depan mimbar di dalam Masjid Nurul Iman, saat posisi jarum jam di dinding mihrab serupa dengan jarum jam di mihrab sekarang, dua orang duduk berhadap-hadapan bercakap-cakap.

"Ada perkembangan dari follow-up pesantren remaja kemarin?"

"Alhamdulillah sudah terbentuk lima kelompok mentoring putra, dan tujuh kelompok mentoring putri?"

"Tujuh. Wah banyak ya."

"Ya. Bahkan sudah ada tiga remaja putri yang memutuskan untuk berjilbab."

"Subhanallah. Tidak ada kendala ya?"

"Mmm... Ada sih. Ada seorang dari kelompok geng motor Triller. Kamu tahu kan, geng motor di kota ini? Dia marah-marah kepada seorang mentor putri kemarin."

"Lho, kenapa?"

"Dia diputusi pacarnya. Setelah pacarnya ikut pesantren remaja, pacarnya tidak mau lagi pacaran."

"Waduh. Lalu?"

"Anak geng motor itu juga menanyakan kamu."

"Saya?"

"Iya. Dia bertanya siapa Sugono, ketua panitia Pesantren Remaja. Dia minta pertanggung jawaban."

Kemudian hening di antara mereka. Sugono melempar pandangannya keluar. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Sugono merasa dalam bahaya.

"Apa rencana kamu, Sugono?"

"Tidak masalah. Saya kenal kok Ketua geng motor Triller. Dia kawan sekelas saya di kampus. Saya malah akan mendaftar menjadi anggota geng motor Triller."

"Buat apa? Bahaya. Kamu bisa..."

"Tenang saja. Justru itu bisa mengamankan saya. Saya bisa dapat perlindungan dari ketua geng motor."

"Kamu nanti futur."

"Tidak. Yakhtilatun walakin yatamayazun. Berbaur tapi tidak lebur." Sugono mengedipkan mata. Ia mantap bergabung dengan geng motor pimpinan temannya.

*****

Bergabungnya Sugono dengan geng motor awalnya tak menyebabkan masalah pada Organisasi Muda Muslim, organisasi yang embrionya berasal dari komunitas remaja aktifis remaja masjid. Sugono bisa memprioritaskan organisasinya. Tapi lama kelamaan, seringnya aktifitas turing bersama geng motor membuat Sugono sering absen pada kegiatan maupun rapat organisasinya.

Dan sebuah petaka hadir di bulan ke-enam ia bergabung dengan geng motor. Beberapa buah foto Sugono yang tampak mesra dengan seorang wanita tersebar di pengurus organisasi pemuda muslim. Hingga Sugono harus disidang oleh Badan Pengurus Harian (BPH) yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendarahara di sekretariat.

"Demi Allah, saya tidak pacaran. Foto-foto itu diambil saat kami out bound. Saya kebetulan sekelompok dengan gadis itu. Dia bernama Natalie. Non muslim. Saya terpaksa menggandeng tangannya karena kami harus melewati sebuah rintangan di out bound itu. Foto itu disebar oleh Roy. Dia masih dendam pada saya karena pernah diputusi pacarnya yang hijrah setelah ikut pesantren remaja." Begitu pembelaan Sugono.

"Tetap saja ini tidak bisa diterima. Out bound bukan alasan syar'i ataupun darurat sehingga kamu bisa memegang tangan non muhrim. Lalu bagaimana dengan amanat kamu sebagai Ketua Departemen Kaderisasi? Banyak agenda yang terpaksa ditanggung oleh BPH. Kamu lalai." Suara ketua organisasi pemuda muslim.

"Saya punya agenda dakwah pribadi yang lebih urgen. Anggota geng motor itu punya prospek yang cerah untuk dakwah."

"Jadi lebih urgen agenda pribadi kamu? Kalau begitu kamu dan organisasi ini sudah tidak punya kesamaan visi dan misi. Apakah kita masih bisa beraktifitas bersama?"

Sugono diam. Diam agak lama. Hingga akhirnya bersuara, "Baik. Saya mengundurkan diri."

Sugono berjalan keluar dari sekretariat. Ia berjumpa dengan Arif, temannya yang dulu pernah mengingatkannya sebelum ia bergabung dengan geng motor.

"Saya sudah ingatkan kamu. Kamu bisa futur. Ada objek dakwah yang lebih mudah digarap, kenapa tidak prioritaskan itu?" Ujar Arif.

"Saya masih bisa berbaur tanpa lebur. Saya difitnah. Dan itu bukti dakwah saya benar." Jawab Sugono sambil berlalu.

*****

Pada akhirnya perselisihan antara Sugono dan Roy dapat diselesaikan melalui musyawarah anggota geng motor Triller. Keputusannya, geng motor mengeluarkan Roy dari keanggotaan karena tindakannya yang melanggar kesetiakawanan. Keputusan itu tidak bisa diterima Roy, tapi ia tetap keluar.

Namun belum selesai di situ masalahnya. Sugono yang masih menyimpan dendam yang hebat kepada Roy, dan ketua geng motor yang adalah teman sekelasnya di kampus, merencanakan hal jahat kepada Roy. Pada suatu malam mereka mengeksekusi rencana itu. Mereka hafal kebiasaan Roy yang selalu pulang malam pada hari Rabu sehabis kuliah. Mereka menyewa mobil dari Bandung untuk mencelakakan Roy di jalan yang sepi, dan secepat kilat mereka kabur.

Kecelakaan itu bukan tidak ada yang melihat. Sekelompok pemuda yang memergoki aksi kecelakaan itu segera membawa Roy ke Rumah Sakit terdekat. Nyawa Roy bisa diselamatkan.

Beberapa hari kemudian, ayahnya Roy mengundang para pemuda itu ke rumahnya untuk berterima kasih, setelah Roy diizinkan untuk pulang.

"Saya benar-benar berterima kasih atas bantuan kalian." Ujar ayahnya Roy.

"Tuhan yang menghendaki Roy mendapat pertolongan, Pak." Salah seorang dari mereka menjawab diplomatis.

"Ya, kalau tidak ada kebaikan di hati kalian, mana mungkin kalian akan menolong Roy."

"Ya, semoga saja Tuhan mencatat ini sebagai amal sholeh.” Lalu suara koor “Amin” berbunyi.

"Bagaimana kalian bisa ada di sana malam itu?"

"Malam itu kami sedang ada pengajian pekanan di Masjid dekat lokasi kejadian. Saat acara selesai dan kami hendak beranjak pulang ke rumah masing-masing, tiba-tiba kami melihat kejadian itu. Sayangnya tidak ada dari kami yang sempat mencatat nomor polisi mobil yang mencelakakan Roy. Selain saat itu gelap, kami terfokus untuk menyelamatkan Roy."

"Yah.. Biarlah…” Ayahnya Roy menarik nafas berat. “Tuhan tidak tidur. Ia pasti mengetahui siapa pengemudi yang tidak bertanggung jawab itu. Ngomong-ngomong, kalian ikut pengajian apa?" Sambungnya lagi.

"Kami anggota organisasi muda muslim, pak."

"Oh ya? Saya pernah dengar nama organisasi itu. Ajak lah Roy ikut mengaji bersama kalian."

"Dengan senang hati pak. Kalau Roy berkenan, kami siap menerima Roy bergabung."

"Insya Allah Roy mau. Iya kan Roy?" Ayahnya Roy bertanya pada Roy yang terbaring di sebuah ranjang di ruang tamu, tidak seberapa jauh dari sofa yang diduduki oleh ayahnya dan beberapa pemuda yang menolongnya. Roy mengangguk dan tersenyum.

*****

Roy benar-benar berubah setelah mengikuti kajian rutin atau pun acara-acara yang diadakan oleh Organisasi Muda Muslim. Bukan cuma ibadah wajib yang tak lagi bolong-bolong, tapi juga ibadah sunnah rajin ia kerjakan. Ia juga bersemangat untuk mendakwahi orang-orang sekitarnya.

Hal yang jauh berbeda yang terjadi pada Sugono. Akhirnya Sugono benar-benar berpacaran dengan Natalie. Sisa-sisa semangatnya saat masih beraktifitas di Organisasi Muda Muslim sudah hilang entah kemana. Untuk berpacaran dengan Natalie, ia melakukan pembelaan dengan argumentasi bahwa menikahi ahli kitab itu tidak terlarang bagi muslim.

Sugono sudah diperkenalkan oleh keluarga Natalie. Dan terjadi penolakan oleh keluarga Natalie. Orang tua Natalie hanya ingin melihat anaknya punya hubungan dengan orang yang seiman. Maka pilihannya ada dua kepada Sugono, ganti keimanan atau jauhi Natalie.

Belum ada jawaban dari Sugono. Meski Natalie merayunya untuk pindah agama, Sugono masih ragu-ragu untuk ikut agama Natalie. Memutuskan hubungan dengan Natalie pun Sugono enggan. Dulu Sugono punya misi berdakwah di kalangan geng Triller, tapi kini justru Sugono yang didakwahi oleh keluarga Natalie.

Untuk memperkuat rayuannya, Natalie mengajak Sugono bertemu dengan pamannya yang adalah seorang pemuka agama di Bandung. Sugono menuruti ajakan Natalie. Masih ada kesadaran pada dirinya untuk berencana mendebat pamannya Natalie. Selama di perjalanan, Sugono menyusun poin-poin yang akan ia jadikan bahan perbantahan.

Dan pertemuan itu pun terjadi. Sugono diterima oleh paman Natalie di sebuah rumah mewah di sebuah sudut kota Bandung. Awal pertemuan, tak ada pembicaraan tentang agama. Hanya perkenalan dan obrolan basa basi. Pamannya Natalie rupanya juga seorang pecinta otomotif. Dan pembicaraan hobi pun berlanjut hingga makan malam. Entah sengaja atau tidak, yang terhidang pada makan malam itu adalah makanan kesukaan Sugono, udang goreng balado. Sugono asyik berbincang tentang hobinya bersama Natalie dan paman Natalie sembari melahap makanan kesukaannya. Dan sampai di situ lah ingatan Sugono pada kunjungannya ke rumah Pamannya Natalie di Bandung. Selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi.

*****
Dua pekan setelah kepergian Sugono, orang tuanya tak kunjung mendapati Sugono kembali ke rumahnya. Sugono hilang. Orang tuanya telah menghubungi teman-teman Sugono di Organisasi Muda Muslim, tapi tak ada titik terang. Begitu juga dengan teman-temannya di geng motor. Tak ada jawaban memuaskan. Saat ditanya ke Natalie, jawabannya Natalie juga ikut kehilangan dan tak mau memberi informasi di mana keberadaan Sugono.

Hingga kemurahan Tuhan mempertemukan Sugono dengan Roy di sebuah daerah di Cianjur. Sugono tampak terlihat berpakaian rapi di dekat sebuah rumah ibadah di hari ahad. Saat itu Roy sedang berkunjung ke rumah saudaranya dan telah mendengar pula tentang hilangnya Sugono.

Saat Roy melihat Sugono, sedikit ragu Roy menyapanya. Ada tanda bekas luka di pipi Sugono yang membuat Roy yakin kalau itu Sugono. Tapi Sugono tak mengenali Roy, bahkan terlihat linglung saat diajak bicara. Roy curiga ada sesuatu yang terjadi pada Sugono. Roy menghubungi keluarga Sugono, dan singkat cerita Sugono pun bisa dibawa pulang kembali oleh orang tuanya atas bantuan aparat hukum.

*****

“Kamu benar-benar tidak ingat apa yang terjadi selama dua pekan itu?” Tanya Pak Haji setelah Sugono selesai bercerita pengalamannya.

“Tidak pak Haji. Saya benar-benar tidak ingat. Yang saya ingat sedikit, saya tinggal dan beraktifitas di sebuah rumah ibadah. Dan saya juga sempat mengikuti proses seperti sebuah upacara peresmian kepindahan agama saya.” Jawab Sugono dengan suara serak. Matanya basah oleh air mata, hatinya kuyup oleh penyesalan.

“Bagaimana kamu bisa sadar?”

“Saya diterapi sehingga ingatan saya pulih.”

“Yah… Kita semua bersyukur kamu bisa diselamatkan diri dan aqidah kamu. Kamu kesini diajak oleh teman kamu ini?” Pak Haji menunjuk ke arah orang di samping Sugono.

“Benar pak. Dia Roy, yang menemukan saya saat saya hilang. Dia mengajak saya untuk bertemu pak Haji agar saya mendapat taushiyah yang bisa menguatkan aqidah saya kembali. Sebelum saya hilang pun keimanan saya sempat goyah saat berpacaran dengan Natalie. Pak Haji sudah banyak mengislamkan orang, sudah matang dalam perdebatan antar agama. Roy juga mengajak saya kesini karena ada memori saya di sini saat masih aktif berdakwah di organisasi muda muslim. Agar semangat saya tumbuh kembali.”

Pak Haji menganggukkan kepala. “Permutadan dengan cara hipnotis bukan baru kali ini saya temukan. Semoga kamu Sugono, bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini.” Ujarnya.

Secercah Keinginan

KRL ekonomi Jabotabek berhenti di sebuah stasiun, sebagian penumpang berhamburan keluar dari pintu-pintu KRL yang cukup lebar itu, termasuk Muhammad Amar Al-Fatih, ia pun ikut turun di stasiun tersebut. Amar melihat jam yang menempel di dinding, “Hmm…sudah jam setengah 8 malam.” Gumamnya lirih. Terlihat wajahnya yang letih, maklumlah, perjalanan dari stasiun UI yang memakan waktu sekitar 30 menit setelah sebelumnya dia menghadiri suatu acara di kampusnya, belum lagi keadan di dalam kereta yang cukup penuh dimana Amar harus berjuang agar dirinya bisa bertahan untuk berdesak-desakan dan didorong maupun mendorong penumpang lain. Amar terus berjalan, kemudian menyerahkan karcis kepada petugas karcis yang menjaga di pintu keluar. “Lebih enak naik bis atau jalan ya…?” sambil melangkahkan kakinya Amar berfikir sejenak, akhirnya Amar memutuskan untuk berjalan, karena posisi rumahnya yang tidak begitu jauh dari stasiun itu, kalau ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira akan memakan waktu sekitar 15-20 menit.
Amar terus menyusuri jalan-jalan di malam hari. Sambil berjalan Amar melantunkan nasyid dengan lirih untuk menemani perjalanan malamnya, kadang dia melantunkan nasyid bernuansa semangat yang bisa membuatnya bersemangat, kadang juga dia melantunkan nasyid bernuansa sedih yang kalau sudah begitu biasanya Amar akan larut dalam kesedihan dan dia pun tak kuasa untuk membendung butir-butir bening yang keluar dari kedua bola matanya. Jalan terlihat agak macet, karena di pinggir-pinggir jalan itu sedang dilakukan perbaikan jalan. Amar menutup hidungnya dengan handuk kecil yang selalu dibawanya untuk mencegah polusi masuk ke dalam hidungnya yang berasal dari asap kendaraan bermotor, terkadang Amar juga mengedipkan matanya karena perih setelah terkena asap kendaraan bermotor tersebut, dan Amar harus berjuang untuk melewati jalan tersebut yang banyak asapnya dan suaranya yang cukup bising itu. Amar terus berjalan agar bisa cepat sampai di rumahnya.
Amar pun memasuki jalan kecil, kira-kira 5 menit lagi dia akan sampai di rumahnya. Amar terus berjalan, kemudian melewati SMA yang pernah dijadikannya sebagai tempat untuk menuntut ilmu, SMA yang bernama SMA Pelangi Ukhuwah. Seperti biasa, bila Amar melewati SMA-nya di malam hari pasti Amar mengarahkan matanya ke Masjid yang terlihat dari jalan, Masjid itu sering gelap dan sepi. Setiap melihat Masjid SMA-nya di malam hari, fikiran Amar melayang-layang, dia mengingat saat SMA dahulu, Amar melihat ada perbedaan di sana, di mana suasana Masjid SMA-nya di malam hari dahulu sering dijadikan tempat beraktivitas bersama teman-teman Rohis SMA-nya, mulai dari buka puasa Senin-Kamis bersama, belajar bersama, berdiskusi bersama, sampai menginap bersama sehingga suasana Masjid menjadi lebih hidup, namun kini?…bagi Amar semuanya terlihat berubah. Disaat Amar mengingat memorinya masa lalu, Amar hanya bisa tersenyum sendiri, dan terkadang tanpa disadarinya butir-butir bening keluar membasahi kedua pelupuk mata serta pipinya. Kadang untuk menguatkan memorinya itu Amar sambil melantunkan nasyid yang menjadi kenangan saat di Rohis SMA-nya dahulu.
Amar terus berjalan…dan terus berjalan sambil menyeka air matanya. Sebentar lagi Amar akan sampai di rumahnya, kemudian Amar akan sholat isya’, beristirahat sejenak lalu makan malam. Menjelang malam larut biasanya Amar menulis artikel, puisi, atau cerita yang ditemani oleh lantunan syair nasyid atau lantunan instrumental yang bisa menyentuh hatinya dan menambah inspirasi di dalam fikiran Amar yang akan membantu dan memudahkan Amar dalam menuangkan isi hatinya ke dalam tulisan. Setelah dirasa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, Amar kemudian tidur, istirahat sejenak yang kemudian esok harinya Amar akan menjalankan aktivitas kesehariannya kembali…”Ahh…hari-hari yang melelahkan, tapi ini harus dihadapi dengan cara tetap menjalankan dan menikmati hidup ini…” gumamnya menjelang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Amar membaluti tubuhnya dengan selimut agar tubuhnya merasa hangat karena udara yang cukup dingin setelah tadi daerahnya diguyur oleh hujan.
*     *     *
Amar melangkahkan kakinya menuju sebuah tempat yang berjarak sekitar 300 meter dari posisi rumahnya. Sebuah tempat yang menyimpan begitu banyak memori, sebuah tempat yang di sanalah dia mendapatkan hidayah serta mengenal keagungan Islam, sebuah tempat yang berawal  dari sanalah kehidupannya begitu berubah. Amar terus berjalan di bawah terik matahari menuju tempat yang selama ini sangat jarang dikunjunginya semenjak dia menancapkan kakinya di kampus, bukan karena tidak mau dan tidak peduli, tapi karena aktivitas di kampus dan di lingkungan rumahnya yang membuat Amar tidak sempat untuk menengok dan mengunjungi tempat itu. Kini Amar begitu rindu dengan tempat itu. Amar teringat dengan memori-memori yang dibangunnya bersama-sama teman-teman Rohisnya dahulu. Amar tidak bisa melupakannya…Rohis SMA Pelangi Ukhuwah…yang memberikan kepadanya pelangi kehidupan.
Amar kini sudah berada di depan pintu gerbang SMA Pelangi Ukhuwah, jantungnya berdebar-debar, hampir saja dia mengurungkan niatnya untuk masuk ke SMA itu dan menuju ke Masjidnya karena dia kini tidak begitu kenal dengan adik-adiknya di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, hanya beberapa orang saja, lagi pula dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sana? Tapi niat Amar untuk menuju ke sana sudah bulat, “Kalau tidak dimulai dari sekarang, bagaimana mau kenal dengan pengurus Rohis? dan juga bagaimana bisa tahu dengan kondisi Rohis di SMA Pelangi Ukhuwah sekarang?” begitulah apa yang difikirkannya kini. Dengan mantap, Amar terus melangkahkan kakinya menuju Masjid SMA Pelangi Ukhuwah. Suasana di dalam Masjid tidak ramai, hanya beberapa orang saja yang masih berada di sana. Amar lalu menyapa dan memberi salam kepada orang-orang yang berada di dalam Masjid itu, kemudian Amar ikut nimbrung dengan mereka agar bisa kenal dengan adik-adiknya di Rohis.
Suasana kini sepi, semuanya sudah pulang. Tinggallah Amar sendiri. Amar kemudian menatap ruangan Masjid itu. Ada haru dalam rindu, ada kenangan dalam ingatan. Fikirannya menerawang, Amar seolah melihat sekelumpulan siswa berseragam abu-abu dan putih yang berada di dalam maupun di luar Masjid, suasana begitu ramai, ada yang sedang berdiskusi, ada yang sedang membaca Al-Quran, ada yang sedang melakukan rapat-rapat kecil di dekat hijab, ada yang sedang membaca buku, ada yang sedang tidur-tiduran, dan ada juga yang sedang bercanda-canda ria. Di sana ada Amar yang masih menggunakan seragam SMA bersama teman-teman Rohisnya seperti Yudi, Rizki, Fauzi, Yasin, Kamaludin, Wawan, Hasan, Fikri, Ikhwan, dan sebagainya. Amar pun seolah melihat hijab bergoyang dan ada suara seorang wanita yang berada di balik hijab tersebut yang suara itu seperti suara Aisyah, wanita yang pernah menjadi partnernya di Bidang I kepengurusan Rohis angkatannya, kemudian suara wanita itu ditanggapi oleh salah seorang laki-laki yang Amar pun mengenali laki-laki tersebut, laki-laki itu adalah Fauzi, mereka pun membicarakan permasalahan di sub-bidang yang mereka tangani.
Amar kemudian tersadar dari lamunannya.
“Ah…ternyata itu tadi hanya bayangan saja…” ungkap Amar disertai dengan senyumnya yang mengembang kecil. Amar begitu rindu dengan teman-teman Rohis angkatannya, rasanya Amar ingin kembali ke masa itu, Amar masih ingin bercengkrama dengan teman-teman Rohisnya, karena dari situlah Amar mulai mengenal Islam secara luas, mulai mengenal akan arti persahabatan yang sesungguhnya, mulai mengenal ukhuwah Islamiyah, dan…mulai mengenal yang selama itu belum diketahuinya. Tapi Amar sadar bahwa dia tidak akan mungkin untuk kembali ke masa itu. Amar masih memandangi seluruh ruangan Masjid SMA Pelangi Ukhuwah, Amar masih begitu rindu, sepertinya Amar belum mau untuk meninggalkan ruangan Masjid itu, namun hari kian sore dan Amar pun masih harus melakukan aktivitas kesehariannya.
Setelah melaksanakan sholat Ashar. Amar meninggalkan ruangan Masjid SMA Pelangi Ukhuwah. Hembusan angin sepoi-sepoi yang menggerakkan dedaunan di sekitar Masjid itu membawa kesejukan. Amar melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Masjid, kemudian langkah kaki Amar terhenti, dia melihat tempat parkir yang terletak di dekat Masjid yang sebelumnya adalah sebuah taman dengan sebuah kolam ikan, sebuah taman yang sering dijadikan tempat oleh Amar untuk bertafakkur, merenung, maupun mencari inspirasi. Amar melanjutkan kembali langkah kakinya dengan ditemani oleh semilir angin yang membelai lembut tubuhnya. Rambut dan pakaiannya pun menari-nari dibelai hembusan angin itu. Amar merasakan kesejukan, sesejuk suasana hatinya saat itu.
*       *       *
            “Zal, kok sekarang yang ikut Rohis sedikit sih? tanya Amar kepada Rizal yang merupakan mantan pengurus Rohis dan kini telah duduk di kelas 3.
            “Ya, begitu lah Kak.” Jawab Rizal singkat.
            “Waktu zaman Kakak yang ikut Rohis hari sabtu banyak, kalau dikumpulin bisa sampai pakai 3-4 kelas. Ada kelas 1 sama kelas 2. Pengurus Rohis juga disuruh ikut dengerin materi sama alumni”
            “Zaman kakak sama zaman sekarang kan beda.”
            “Iya, tadi kakak lihat acara Rohis di kelas, yang datang cuma sedikit.”  Kata Amar menegaskan.
            “Kalau sekarang yang ikut ekskur Rohis cuma kelas 1, kelas 2 nggak ikut.” Kata Rizal
            “O… udah berubah ya, maklum udah lama gak ke sini, jadinya gak tahu. Ucap Amar
            “Memang keadaannya sekarang begini.”  Ungkap Rizal.
            “Kok bisa begitu sih Zal, tolong dong ceritain! Kakak udah lama nih gak tahu keadaan Rohis di sini”  kali ini Amar bertanya sambil meminta.
            “Begini Kak ceritanya.”  Rizal kemudian berfikir sejenak untuk bisa merangkai kata-katanya, sedangkan Amar terlihat serius untuk mendengarkan apa yang akan diceritakan Rizal mengenai keadaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah kini.
            “Hmm…begini Kak, soalnya pengurusnya juga begitu sih Bang.”
            “Begitu gimana maksud kamu Zal?”  tanya Amar bingung.
            “Ya, pengurusnya suka kabur-kaburan.”  Jawab Rizal.
            “Kabur-kaburan, maksudnya apa sih Zal, kok kakak jadi tambah bingung nih.”
            “Jangan bingung-bingung Kak.”
            “Kamu sih bikin kakak bingung, cerita yang jelas dong Zal, biar kakak ngerti!”
            “Maksud aku begini Kak, pengurus Rohis yang sering ke Masjid tuh cuma sedikit, dan orangnya itu-itu juga, sedangkan yang lain aku nggak tahu kemana rimbanya. Contohnya, tadi sebelum acara Rohis dimulai hanya ada beberapa pengurus yang ada di Masjid, itu juga  nggak selalu ada di Masjid, kadang-kadang mereka keluar. Waktu dulu sih masih banyak yang aktif, tapi lama-kelamaan cuma tinggal sedikit yang benar-benar aktif di Rohis”
            “Iya Zal, kakak tadi juga lihat itu.”  Potong Amar.
            “Lihat apa Kak?”  tanya Rizal.
            “Seperti yang kamu bilang tadi kalau yang ada di Masjid pengurusnya cuma sedikit, jumlahnya bisa dihitung sama jari tangan.”  Ujar Amar sambil menunjukkan jari tangannya.
            “Maka dari itu Kak, itulah masalahnya.”  Kata Rizal.
            “Terus Zal, nggak ada yang menjaga anggota Rohis, mereka seperti dibiarkan menunggu. Ada sebagian anggota Rohis yang akhirnya pulang karena melihat nggak ada pengurus di dalam Masjid. Alhamdulillah tadi ada Bang Yasin yang mengkoordinir anak-anak Rohis supaya bisa ikut dengerin materi”  Ujar Amar lagi.
            “Ya, begitulah Kak keadaannya sekarang. Maka dari itu, Kakak harus sering-sering ke sini biar tahu keadaan di Rohis!”  ungkap Rizal.
            “Eh Kak…”  kata Rizal lagi.
            “Kakak tau gak?”
            “Tau apaan Zal?” Sambut Amar
            “Gak sedikit lho Kak pengurus Rohis yang menjalin cinta”
            “Lho, cinta itu kan fitrah, jadi wajar dong kalau menjalin cinta, kan kita memang dianjurkan menjalin cinta sama siapa aja Zal.” Ungap Amar
            “Maksudnya bukan itu Kak, kalau itu sih aku tau”.
            “Maksudnya apa dong…”
            “Maksudnya pacaran Kak…”
            “Pacaran??? Kok bisa ya? Zaman Kakak dulu kalau ada pengurus Rohis yang pacaran langsung disidang sama Alumni Zal.”
            “Kayak pengadilan aja Kak.”
            “Ya iya lah, kan supaya virusnya gak menyebar, jadi harus cepat-cepat diburu.”
            “O… gitu ya Kak. O iya Kak.”
            “Apa Zal?”
            “Kak Amar mau lihat keadaan pengurus?”
            “Mau Zal, memangnya gimana Zal?”
            “Nggak gimana-gimana sih, biar Kakak tahu aja...”
            “Hmm…kakak sih sudah tahu sedikit informasi tentang keadaan pengurus, tapi  nggak ada salahnya kalau melihat langsung.”  Selama ini Amar memang sering mendapat informasi tentang keadaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah dari teman-teman alumni Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, khususnya dari teman seangkatannya yang masih sering ke Rohis SMA Pelangi Ukhuwah.
             “Keadaan anak-anak Rohis sekarang beda lho Kak sama cerita-cerita yang pernah aku denger dari kakak-kakak alumni tentang keadaan pengurus Rohis waktu dulu”
            “Beda apanya Zal?”
            “Kakak lihat sendiri aja deh, pasti ada bedanya!”
            “Kata kamu tadi zaman dulu sama zaman sekarang beda, iya kan?”
            “Iya sih… tapi kan…” Rizal pun urung meneruskan kata-katanya.
            “Sekarang pengurusnya pada kemana?”
            “Lagi rapat di kelas Kak, sebentar lagi juga selesai.”
            “Kalau begitu akan kakak tunggu.”
            “Terus Kak, kalu mau lebih jelas tentang keadaan pengurus Rohis lebih baik Kak Amar ngobrol-ngobrol deh sama pengurus, di situ kan Kak Amar bisa langsung tahu keadaan pengurus dan juga Rohis!”  Amar mengangguk menanggapi saran dari Rizal.

Setelah agak lama menunggu, akhirnya pengurus Rohis pun menyelesaikan rapatnya. Amar memperhatikan perilaku para pengurus Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, dia perhatikan gerak-gerik mereka. Amar kemudian berbincang-bincang dengan salah satu pengurus Rohis, digalinya informasi-informasi yang keluar dari mulut salah satu pengurus Rohis itu, dari mulai keadaan Rohis di sini, sampai masalah yang terjadi pada pengurus. Tak puas dengan informasi dari salah seoang pengurus SMA Pelangi Ukhueah, Amar kemudian mencari lagi informasi kepada pengurus Rohis yang lainnya. Amar sepertinya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, kesempatan ini digunakannya selain untuk memperoleh dan menggali informasi juga agar lebih dekat dengan pengurus Rohis SMA Pelangi Ukhuwah secara langsung. Amar terus menggali informasi hingga azan asar berkumandang dari microfon yang keluar dari Masjid SMA Pelangi Ukhuwah.
*       *       *

Sekitar pukul 14.40 WIB, Amar melangkahkan kakinya menuju sebuah taman yang terletak di samping danau UI. Setelah melakukan aktivitas kuliahnya dari pagi, Amar merasa perlu untuk menenangkan fikirannya serta merenggangkan otot-ototnya agar tidak kaku. Amar terus berjalan, kemudian dia menuju ke tempat duduk yang terbuat dari beton tepat di timur danau UI. Amar kemudian duduk sambil menaruh tas di sampingnya. Amar sering pergi ke tempat itu sekedar untuk beristirahat ataupun bertafakkur, kadang juga dia mencari inspirasi untuk bahan tulisannya. Suasana agak ramai, karena banyak mahasiswa yang berada di sekitar sana maupun yang ingin menuju Masjid UI yang letaknya berada di utara danau. Teriknya matahari seakan tak terasa karena terhalang oleh dedaunan yang rindang, yang dirasakan oleh Amar tak lain hanyalah rasa sejuk yang didapatinya dari angin yang berhembus dengan lembut, ditambah suara dedaunan yang saling bergesekan karena sentuhan angin yang lembut.

Amar kemudian termenung, dia kembali mengingat tentang keadaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah kini. Setelah sekian lama Amar ke SMA Pelangi Ukhuwah untuk melihat keadaan Rohis di sana selain membuat Amar bahagia karena bisa kembali melihat dan menjenguk Rohis yang selama ini ditinggalkannya, di satu sisi hati Amar sedih, Amar tidak menyangka kalau keadaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah begitu berbeda. Keadaan anggota Rohis yang mengikuti kajian hari Sabtu kini jumlahnya berkurang, belum lagi keadaan pengurus Rohis yang kurang menunjukkan sikap yang Islami. Pengaruh anak-anak Rohis berkurang, suasana ruhiyah serta ukhuwah yang dahulu begitu terasa kini sedikit demi sedikit mulai berkurang. Kalau dulu, setiap bertemu pasti berjabatan tangan sambil mengucapkan salam. Bahkan orang-orang yang duduk di depan Masjid juga diajak berjabat tangan dan diberi salam … Kalau kita berjabat tangan dengan saudara kita maka dosa-dosa kita dengan saudara kita akan hilang, kita pun bisa saling mengenal dengan orang lain yang sebelumnya tidak kita kenal… Begitulah yang pernah diajarkan oleh kakak-kakak kelas maupun kakak alumni Rohis dahulu, itu pula yang membuat anak-anak Rohis selalu berjabatan tangan sambil mengucapkan salam kalau bertemu. Amar merasa kehilangan dengan Rohisnya, bukan hanya Amar saja yang merasa kehilangan, bahkan alumni yang lain hingga guru-guru pun ikut merasakannya. Kini tidak banyak yang bisa dibanggakan dari Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, tidak seperti dahulu, di mana pihak sekolah pernah membanggakan Rohis karena kualitasnya. Tapi bagaimanapun juga Amar merasa bangga dengan anak-anak Rohis yang tetap mau aktif di Rohis walaupun banyak godaan dan halangan yang mereka alami.

Amar mamandangi air yang bergerak-gerak di danau itu, air yang terlihat agak keruh dan penuh, kemudian dia teringat akan masa-masa indah di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah dahulu, dimana pada awalnya dia tidak mempunyai niat untuk masuk Rohis, namun atas desakan teman sebangkunyalah akhirnya Amar masuk Rohis. Amar selalu mengikuti kegiatan-kegiatan di Rohis, suasananya yang ramai, ceria, indah, serius namun terlihat santai dan tidak monoton, ada persaudaraan yang begitu kuat, sikap dari kakak-kakak kelas maupun alumni Rohis yang baik, bimbingan dan perhatian dari kakak-kakak kelas, alumni, bahkan guru pembina yang tak kenal lelah memperhatikan anggota Rohis, Amar begitu sangat senang berada di Rohis. Amar pun tak menyangka kalau berawal dari situlah Hidayah Allah menyentuh hatinya. Pola pandang serta perilaku Amar berubah menjadi lebih baik setelah bersentuhan dengan Hidayah Allah. 

Amar pun teringat bagaimana dahulu dia bersama teman-teman di Rohis sering diajak menginap untuk mengikuti kajian dan sholat malam di Masjid-masjid pada malam minggu oleh kakak kelas maupun alumni. Lalu acara konser nasyid yang sering diadakan di Kampus UI, yang dengan itu Amar dan teman-temannya mulai mengenal dan menyukai nasyid, Amar dan teman-temannya pun akhirnya membuat grup nasyid Rohis dan sering tampil kalau ada acara-acara Rohis, seperti Pengajian Bulanan atau acara Rohis lainnya, bahkan sesekali dipanggil untuk tampil dalam acara-acara Hari Besar Islam oleh Remaja-remaja Masjid di sekitar SMA Pelangi Ukhuwah .  Belum lagi acara rihlah dan dauroh ke daerah pegunungan, di sana Amar dan teman-teman Rohisnya yang dipandu oleh kakak-kakak alumni melakukan tea walk, menyusuri jalan-jalan di tengah tumbuhan teh menuju ke puncak, dan sesampainya di puncak bisa melihat indahnya ciptaan Allah SWT, Amar bersama teman-teman Rohisnya bisa mengetahui begitu indah dan besarnya ciptaan Allah, sarana itu dijadikan untuk bisa bertafakkur maupun muhasabah, apalagi kalau berada di puncak gunung dan melihat pemandangan sekitar, kakak-kakak alumni Rohis di sana memberikan nasihat tentang keagungan ciptaan Allah dan betapa kecilnya manusia di hadapan Allah, terkadang Amar dan teman-teman Rohisnya merasakan kekerdilan di sana, sifat sombong dan angkuh seketika hilang, tidak sedikit yang hatinya bergetar saat mendengarkan nasihat dari kakak-kakak alumni sambil melihat pemandangan di sekitar, bahkan tidak sedikit pula yang mencucurkan air matanya. Selain itu, Amar dan teman-temannya pun tahu kalau acara rihlah dan tea walk ini bisa meningkatkan semangat. Amar pun masih ingat kalau tidak sedikit teman-temannya bahkan Amar sendiri dahulu memiliki semangat yang kurang, bahkan ada yang sedikit manja, namun setelah sering diadakannya menginap ke Masjid-masjid, rihlah, dauroh maupun tea walk akhirnya sedikit demi sedikit sifat negatif tersebut berkurang, sikap kekanak-kanakan dan manja pun sedikit demi sedikit tergantikan oleh sikap yang dewasa. Penempaan yang dialami oleh Amar dan teman-teman Rohisnya memberikan hikmah bagi perkembangan emosi serta spiritual…”Ah, andaikan acara itu bisa sering diadakan lagi di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah…”  gumam Amar dalam hati.

Masih banyak lagi yang Amar fikirkan. Fikiran Amar terus menerawang, mengingat waktu dia menjadi pengurus Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Amar benar-benar tidak menyangka sebelumnya kalau akhirnya dia menjadi salah satu pengurus di sana karena awal Amar masuk ke Rohis hanya memenuhi ajakan teman sebangkunya dan tidak pernah terfikirkan untuk menjadi pengurus Rohis, beberapa alumni mengatakan kalau menjadi pengurus Rohis itu salah satu perbuatan mulia, karena dari sarana itulah kita bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan ketenangan jiwa maupun uluran tangan dari sesama, dan yang paling penting kita bisa memiliki hati dan pikiran yang tenang dengan mendapat bimbingan dari Allah. Apa yang dikatakan oleh beberapa alumni itu membuat semangat Amar dan teman-temannya. Teringat pula saat-saat bersama merumuskan sebuah kegiatan Rohis, dimana dibentuk suatu kepanitiaan. Kepanitiaan yang cukup menyita waktu, tenaga, maupun harta, namun itu dilakukan dengan senang walaupun melelahkan, itu semua karena bimbingan dari alumni maupun semangat dan rasa ukhuwah serta merasa memiliki tanggung jawab di Rohis. Kata-kata yang dikeluarkan menjadi doa-doa harian. Saling nasihat-menasihati, saling membantu, dan saling curhat antar sesama pengurus sudah menjadi pemandangan yang biasa. Segala cobaan yang pernah dialami tidak membuat persaudaraan menjadi terputus, serta semangat yang kendur, bahkan semakin kuat. Ada banyak episode yang mewarnai… Canda dan tawa, keseriusan, suka dan duka, keceriaan, bahkan tangisan selalu hadir silih berganti menghiasi hari-hari di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Acara menginap bersama yang dilakukan hampir setiap malam minggu di Masjid SMA Pelangi Ukhuwah, di sana Amar dan teman-temannya bisa lebih saling mengenal satu sama lainnya, kemudian pada pagi harinya melakukan olahraga seperti bermain bulu tangkis maupun sepak bola. Amar dan teman-temannya merasa bahwa Rohis SMA Pelangi Ukhuwah adalah rumah kedua dan keluarga kedua, setiap ingin masuk sekolah biasanya Amar dan teman-teman Rohisnya berkumpul di Masjid SMA Pelangi Ukhuwah, saat istirahat pun suasana Masjid dipenuhi oleh aktivitas siswa yang melaksanakan sholat Dhuha, tilawah, maupun yang hanya sekedar mengobrol-ngobrol, saat pulang pun Amar dan teman-teman Rohisnya tak mau meninggalkan Masjid sekolah, mereka melaksanakan sholat zuhur bersama, kemudian melakukan aktivitas lainnya di Masjid itu, terkadang hingga asar, Amar dan teman-teman Rohisnya sering melantunkan nasyid bersama untuk meningkatkan semangat atau sekedar berhibur. Rasanya ingin selalu bersama di Rohis, tidak ingin berpisah, bahkan ada salah seorang pengurus yang berkata, ”Kita nggak usah pulang yuk, nginap di sini aja…” . Persahabatan dan persaudaraan yang dibangun dengan ketakwaan kepada Allah akan membawa manfaat kebaikan di dunia dan di akhirat, dan kita akan masuk ke dalam 1 dari 7 golongan yang mendapat lindungan Allah kelak di hari kiamat. Begitulah nasihat dari kakak-kakak alumni yang selalu diingat oleh Amar dan teman-teman di Rohisnya. Kalau ada hari libur, selain senang juga ada rasa sedih, karena kalau hari libur maka tidak bisa bertemu dengan teman-teman di Rohis, apalagi kalau liburnya lama, maka dari itu ada gagasan untuk mengadakan rihlah atau pun dauroh agar tetap bisa bertemu. Di sana Amar benar-benar merasakan suasana yang hidup di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, sebelumnya Amar belum pernah merasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Amar terus mengingat masa-masa saat dia menjadi pengurus. Amar kemudian mengingat ketika dia selain jadi pengurus Rohis juga menjadi pengurus OSIS, masih ingat di fikirannya waktu itu ada seorang alumni yang melarang keras untuk menjadi pengurus OSIS dengan alasan kalau nanti Amar menjadi pengurus OSIS akan meninggalkan Rohis dan terpengaruh dengan perilaku pengurus OSIS lainnya, namun Amar tetap berpegang teguh selain menjadi pengurus Rohis juga ingin menjadi pengurus OSIS. Hari-hari di OSIS pun dilaluinya, di kepengurusan OSIS selain Amar juga ada teman-teman Rohisnya, seperti  Handi, Supri, Syahril, dan Rina, walaupun hanya sedikit pengurus Rohis yang menjadi pengurus OSIS dan tidak memegang jabatan penting seperti Ketua dan Sekjen tapi suara-suara anak Rohis tidak hilang, Amar dan teman-teman Rohisnya yang menjadi pengurus OSIS bersyukur karena bisa ikut berperan dan mewarnai di OSIS. Amar ingat bagaimana kegiatan-kegiatan OSIS  tidak ada yang bersifat hura-hura, pada waktu acara LDK OSIS tidak ada acara yang menakutkan bagi calon pengurus OSIS, acara dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada kesan yang negatif, bahkan di acara LDK OSIS diadakan muhasabah dengan iringan nasyid…”Alhamdulillah Ya Allah atas bantuan-Mu…” batin Amar berkata. Amar benar-benar senang karena juga bisa menjalin silaturrahim dan persahabatan dengan pengurus OSIS lainnya yang bukan pengurus Rohis. 

Fikiran Amar pun beralih saat dia dan teman-teman Rohisnya ingin meninggalkan SMA Pelangi Ukhuwah karena sebentar lagi akan lulus, suasana sedih terlihat, bahkan diadakan sebuah acara yang isinya mengungkapkan segala rasa dan isi hati sebelum meninggalkan SMA Pelangi Ukhuwah, saling memaafkan atas segala kesalahan yang diperbuat selama bersama-sama di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Bahkan setelah lulus pun hubungan dengan teman-teman Rohisnya tidak putus begitu saja, Amar dan teman-teman Rohisnya masih sering mengadakan acara silaturrahim maupun rihlah. Amar benar-benar bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan-Nya selama menjadi pengurus Rohis maupun OSIS.

Setelah lulus, Amar tidak tahu mengenai perkembangan dan keadaan di Rohis maupun OSIS SMA Pelangi Ukhuwah, khususnya di Rohis yang telah menghantarkan Hidayah Ilahi ke hatinya, yang diketahuinya hanya sekedar cerita dari alumni maupun teman seangkatannya yang sering mengunjungi Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Amar benar-benar tidak tahu pasti mengenai keadaan di rohis SMA Pelangi Ukhuwah, karena dia pun sangat jarang sekali ke sana, sesekali dia ke sana itu pun saat acara Ramadhan, selain itu Amar jarang sekali mendaratkan kakinya ke Rohis SMA Pelangi Ukhuwah.
“Allahu Akabar Allahu Akbar…”

Azan asar berkumandang dari Masjid Ukhuwah Islamiyah (UI). Amar kemudian tersadar dari lamunannya. Hembusan angin masih membelai lembut, air di danau pun masih beriak-riak, seolah masih ingin memberikan ketenangan dan kedamaian di sekitar. Matahari perlahan-lahan mulai mengurangi pancaran sinar panasnya, suasana sekitar masih agak ramai, banyak mahasiswa yang berjalan menuju Masjid untuk menunaikan sholat asar. Amar kemudian mengambil tasnya lalu berdiri dan melangkahkan kakinya menuju Masjid Ulhuwah Islamiyah yang terletak di sebelah utara danau UI, tepat di tepi danau. Amar kemudian masuk ke ruang tempat wudhu Laki-laki yang posisinya berada di sebelah kanan beberapa meter dari pintu gerbang, dibasuhnya tubuh Amar dengan air wudhu yang segar, setelah itu Amar menuju Masjid yang terasa sejuk, luas, nyaman dan damai. Gerakan panuh makna yang syahdu menghiasi Masjid itu, semuanya menuju ke satu tempat…arah kiblat.
*     *     *

Amar berdiri di teras atas rumahnya. Dia memandangi langit malam yang begitu cerahnya. Awan-awan terlihat enggan untuk menampakkan diri, yang ada hanya sedikit. Begitu juga sang rembulan yang tersipu malu. Di langit begitu banyak bintang yang bertaburan menghiasi langit malam. Ada banyak gugusan bintang di sana, seperti rasi pari, rasi waluku, rasi scorpio, rasi biduk, maupun rasi bintang lainnya, semua bagaikan lampu bagi langit malam yang gelap. Angin malam pun berhembus dengan pelan, suasana tenang, tidak ada suasana yang terdengar berisik karena hari menjalang tengah malam.

Amar terus memandangi bintang-bintang di langit, cahayanya yang berbeda-beda terangnya, ada yang terlihat sangat terang, ada juga yang terlihat redup maupun biasa saja. Ukurannya pun berbeda-beda, ada yang terlihat agak besar, ada pula yang terlihat agak kecil, semuanya memberikan hiasan tersendiri bagi keindahan langit malam. Hati Amar terasa tenang. Lama sekali Amar memandangi bintang-bintang. Kemudian seolah-olah Amar melihat senyuman manis wajah-wajah teman-teman Rohisnya dulu diantara sinaran bebintang. Senyuman itu akhirnya berganti dengan kesedihan yang seolah mengisyaratkan mengajak Amar untuk kembali bersama mempertahankan suasana keindahan di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah yang saat ini terasa berkurang. Bibir Amar mengembang kecil, kemudian hati Amar pun bergetar dan sedih, dia tak kuasa pula membendung air matanya yang ingin keluar, dia ingin melakukan dan menyambut ajakan itu. Hati Amar memang sudah mantap untuk kembali berbuat banyak demi keindahan suasana di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah agar keindahannya bisa dirasakan juga oleh seluruh siswa SMA Pelangi Ukhuwah yang bukan anak Rohis.

Ingatan Amar pun kembali menuju ke Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Amar ingat saat berbincang-bincang dengan teman seangkatannya di Rohis yang bernama Rizki, saat itu Amar dan Rizki duduk di pagar berwarna hijau setinggi 50 cm yang melingkari taman di sebelah rumah Rizki. Di sana Amar dan Rizki membicarakan keadaan Rohis, mereka pun sepakat kalau keadaan di Rohis kini tidak bisa dibebankan begitu saja kepada pengurus Rohis, karena alumni juga ikut ambil bagian atas keadaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah kini dengan hanya sedikitnya alumni yang sering hadir memberikan bimbingan dan arahan kepada Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, apalagi membinanya dalam mentoring. Amar pun merasa bersalah karena dia selama ini meninggalkan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah yang telah membesarkannya.

Amar dan Rizki sepakat permasalahan di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah ini adalah masalah pembinaan, dimana proses pembinaan kurang berjalan lancar. Amar dan Rizki kemudian sepakat untuk terus membina anak Rohis yang ditanganinya dengan menggiatkan kelompok mentoring, juga mengajak teman-temannya di alumni yang mempunyai kelompok mentoring di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, kemudian membuat acara-acara bersama yang bisa membangkitkan semangat serta ukhuwah diantara anggota Rohis khususnya pengurus Rohis, seperti menginap bersama, rihlah ke gunung atau ke tempat lain, acara-acara daurah, atau acara lainnya. 

Amar pun teringat bagaimana suasana di Masjid  sekolah kini berubah, kehidupan di Masjid tidak seramai dan seindah dulu, seringkali Amar pergi ke Masjid SMA Pelangi Ukhuwah keadaan di sana terlihat agak sepi, bahkan pernah dia ke sana tapi di sana kosong, suasana sedikitnya aktivitas di Masjid sekarang seolah sudah menjadi pemandangan sehari-hari, hanya sedikit siswa SMA Pelangi Ukhuwah yang menuju ke Masjid SMA, padahal dahulu Amar ingat kalau suasana di Masjid sekolah begitu ramai. Kalau datang istirahat, banyak siswa-siswa yang Rohis maupun yang bukan anak Rohis berbondong-bondong ke Masjid untuk melaksanakan sholat dhuha, bahkan karena banyaknya yang ingin melaksanakan sholat dhuha sampai-sampai tidak ada lagi ruangan untuk melaksanakan sholat dhuha dan harus menunggu yang di dalam selesai untuk bergantian. Begitu pun saat sholat zuhur. Aktivitas di Masjid pun masih ada walaupun jam sekolah sudah usai, biasanya banyak yang ingin istirahat sejenak, ada yang sedang membaca Al-Quran, ada yang sedang melaksanakan rapat, ada juga yang sedang berdiskusi ataupun sekedar mengobrol. Amar benar-benar merasakan Masjid sekolah pada waktu itu benar-benar hidup.

Amar kemudian tersenyum, dia teringat pula bagaimana cukup banyak siswa yang mengenakan jilbab, pernah alumni mengatakan bahwa masyarakat sekitar menyebut kalau SMA Pelangi Ukhuwah adalah sebuah Pesantern karena banyaknya kegiatan keagamaan maupun banyaknya siswi yang mengenakan jilbab.

Amar kemudian menghilangkan lamunannya, matanya sudah tidak bisa diajak untuk kompromi lagi. Amar kemudian masuk ke dalam menuju kamarnya untuk melepas lelah di atas tempat tidurnya yang cukup empuk. Amar kemudian mematikan lampu kamarnya lalu menutup kedua bola matanya.  
*       *       *
            “Yud, aku merasa sepertinya keadaan di Rohis SMA Pelangi Ukhuwah begitu berbeda, banyak berubah.”  Ungkap Amar mengawali pembicaraan.
              “Hmm…seperti apa yang aku rasakan.”  Balas Yudi.
              “Merasakan apa maksud kamu Yud?”  tanya Amar.
              “Ya merasakan apa yang kamu katakan tadi…”  jawab Yudi.
               “Ooo…”
              “Eh Yud…”
              “Hmm…”
             “Kamu kan tahu kalau aku sudah lama nggak ke SMA Pelangi Ukhuwah semenjak aku tancapkan kaki di kampus, dan waktu aku ke SMA Pelangi Ukhuwah untuk melihat keadaan di sana rasanya ada banyak sesuatu yang hilang dari Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, banyak yang berubah, tidak seperti dulu lagi. Ya, mungkin karena zaman sudah berubah kali ya. Maka dari itu, waktu Bang Arman menawarkan aku untuk kembali ke SMA Pelangi Ukhuwah, tawaran itu aku sambut dan aku terima, lagi pula aku ingin back to basic alias kembali lagi ke Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, aku ingin bisa berbuat banyak untuk Rohis kita tercinta.
              “Aku juga begitu Mar. Bukannya niat kita untuk kembali ke Rohis SMA Pelangi Ukhuwah agar kita bisa berbuat yang terbaik untuk Rohis kita tercinta?”
             Amar kemudian menganggukkan kepalanya, kemudian berkata,
             “Menurut Aku nih Yud, permasalahan yang menyebabkan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah menjadi begini adalah masalah pembinaan.” 
             “Iya Aku setuju, Aku juga lihat itu, padahal sebenarnya anak-anak Rohis itu punya potensi, coba kalau dibina dengan baik, pasti akan lebih baik lagi.”  Yudi pun setuju dengan pendapat Amar.
             “Yud…”
             “Hmm…”
             “Kalau lihat orang yang punya potensi Aku suka berfikir dan membayangkan kalau dia dibina dengan baik lalu dapat hidayah dan kemudian jadi orang yang sholeh pasti potensi yang ada pada dirinya bisa digunakan untuk kemaslahatan ummat…”  ungkap Amar.
              “Benar Mar, Aku setuju dan Aku pun pernah berfikir seperti kamu.”  Yudi pun kembali memberikan tanggapannya.
             “Coba Yud kita lihat beberapa sahabat Rosulullah. Kita ambil contoh Umar bin Khotthob, dia punya begitu banyak potensi, waktu dia masih jahiliyah dan belum mendapat hidayah, potensi yang dimilikinya digunakan untuk melawan Islam, tetapi setelah mendapat hidayah dan dididik secara benar akhirnya potensi itu digunakan untuk kemaslahatan ummat dan Islam. Belum lagi sahabat seperti Mush’ab bin Umair sang duta Islam pertama yang mempunyai fikiran brilian. Bilal bin Rabah sang muazin yang suaranya membuat hati tersentuh saat dia mengumandangkan azan. Kholid bin Walid yang dulunya pemimpin kaum kafir dalam perang Uhud kemudian masuk Islam dan menjadi panglima perang kaum muslimin dan dijuluki sebagai Pedangnya Allah, serta beberapa sahabat Nabi lainnya.”
            “Termasuk juga kita dan teman-teman kan Mar?”  Kata Yudi sambil senyum.
            “Benar Mar, Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan kita dari kesemuan dunia.”
            “Benar Mar. Coba deh lihat Mar, background kita dan teman-teman Rohis seangkatan yang waktu SMP ikut Rohis siapa? Kebanyakan background kita kurang baik, apalagi ketua Rohis kita yang katanya dia sebelum masuk Rohis pernah merasakan yang namanya narkoba, dll deh Mar.” 
            “Maka itu kita harus bersyukur kepada Allah.”
             “Eh Mar, kamu kan sekarang punya binaan kelompok mentoring di kelas 1, nah itu bisa kamu gunakan untuk berbuat banyak bagi kebaikan mereka, kamu bina tuh dengan baik biar nggak binal, supaya nantinya bisa menjadi pemuda Islam yang aktif dan kreatif yang siap menyumbang segala kemampuannya demi kebaikan diri dan orang lain serta kebangkitan Islam, khususnya mengembalikan kejayaan dan keindahan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Bukankah setelah berada di kampus nanti mereka bisa menjadi penggerak Rohis Kampus yang potensial?” Yudi pun memberikan semangat kepada Amar. Yang terpenting bagaimana anak-anak Rohis mempunyai pemahaman yang baik tentang Rohis yang bukan sekedar organisasi biasa, tapi sebuah sarana kebaikan yang bisa membimbing aktivitas serta perilaku kita menuju jalan yang diridhoi-Nya. Kalau Allah sudah ridho sama kita maka Allah akan memberikan yang terbaik buat hidup kita. Bukankah kita dulu juga sering diberi pemahaman tentang Rohis, iya kan?”
             “Terima kasih ya Yud. Semoga keindahan dan kejayaan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah bisa kembali seperti apa yang pernah kita rasakan bersama teman-teman kita di Rohis dahulu. Aku pun suka nangis kalau mengingat tentang Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, kadang juga aku ingin berteriak sekencang-kencangnya ‘kembalikan Rohisku yang dulu…..’. Maka itu Yud, aku nggak mau air mata ini terus tumpah melihat fenomena Rohis SMA Pelangi Ukhuwah.”
             “Aku pun seperti itu Mar.”
            “Tapi Yud, bagaimanapun juga aku bangga dengan mereka yang tetap mau aktif di rohis walaupun mereka banyak mengalami godaan dan halangan. Itu modal terbesar buat Rohis kita.”
            “Iya, zaman sekarang kan godaannya banyak. Setiap zaman punya masanya sendiri-sendiri. Yang terpenting sekarang bagaimana anak-anak yang tetap mau aktif di Rohis kita pelihara dan terus diasah potensinya supaya pemahaman mereka tentang Rohis bisa berkembang sehingga potensi dan kretivitas mereka bisa terarah dan sesuai dengan nilai-nilai yang Islami. Betul gak?”
            “Akur deh...”

Pembicaraan diantara mereka terus berlanjut. Taka lama kemudian Amar pamit kepada Yudi untuk pulang. Amar kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah Yudi. Amar terus berjalan di bawah panas matahari yang cukup menyengat. Amar melewati SMA Pelangi Ukhuwah, kemudian dia masuk untuk melihat keadaan di sana. Amar melewati pintu gerbang SMA Pelangi Ukhuwah yang terbuka sedikit. Amar terus berjalan menuju Masjid. Amar kemudian bersalaman kepada pengurus Rohis atau kelas 3 yang ada di depan Masjid, tapi Amar tidak masuk ke dalam Masjid, dia lebih memilih duduk di sebuah bangku yang terletak di luar Masjid. Sambil duduk, Amar memperhatikan keadaan Rohis, didengarkannya pula percakapan yang mereka lakukan. Amar kemudian berfikir dan merenung, keadaan yang baru saja dilihat dan didengarnya semakin membulatkan tekadnya untuk turut andil demi terpeliharanya kejayaan dan keindahan Rohis SMA Pelangi Ukhuwah yang pernah dirasakan bersama teman-teman Rohisnya. Iya, tekad Amar sudah bulat.    
            Rindu itu adalah
            Anugrah dari Allah
            Insan yang berhati nurani
            Punyai rasa rindu
            ………………………………..
Sayup-sayup terdengar lantunan nasyid rindu HIJJAZ dari sekretariat Rohis SMA Pelangi Ukhuwah. Hati Amar bergetar, air matanya kembali jatuh, Amar benar-benar rindu dengan suasana keindahan dan penuh semangat saat berada di Rohisnya dahulu. Sementara salah seorang pengurus Rohis memandangi wajah Amar, kemudian memanggilnya, namun Amar tidak menghiraukannya, yang difikirkan Amar hanyalah tentang Rohis dan kerinduannya akan Rohis yang pernah dirasakannya dulu. Iya, Amar benar-benar rindu.

Ah, Rohis SMA Pelangi Ukhuwah, kau benar-benar memberikan pelangi dalam kehidupan ini… Terima kasih Rohisku… semoga kau akan selalu ada di hati…
*          *          *          *          *
                                    arisrindu040782
Jakarta, Akhir Juli 2004
Revisi : Akhir Desember 2006