Sosok laki-laki yang masuk ke Indonesia tahun 1924 ini tidak banyak yang tahu, akan tetapi jasanya sangat besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Seorang pedagang yang datang ke Indonesia dengan membawa banyak sekali barang dagangan berupa kain dengan tujuan mendapatkan banyak keuntungan.
Namun ternyata keinginannya tidak berbanding dengan takdir yang Allah tentukan. Ternyata Allah lebih memilih dia menjadi seorang da’i daripada menjadi seorang pedagang.
Awal sampai di Indonesia, dia mendarat di Kota Pahlawan, Surabaya. Niatnya berdagang kain sangatlah besar. Hal tersebut di dukung dengan pabrik kain yang dibuatnya di Surabaya. Akan tetapi masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai seorang yang ahli dalam bidang agama daripada bisnis. Namun dia masih tetap menjadi penbisnis kain. Akan tetapi Islam di Indonesia lebih membutuhkannya sebagai seorang da’i daripada seorang penjual kain. Persis yang kalau itu menjadi partai Islam ingin merekrutnya menjadi guru agama di Persis, dia pun menerima, akan tetapi dengan syarat pabrik kainnya yang ada di Surabaya dipindah ke Bandung, di daerah Majalaya tepatnya. Akhirnya permintaaan itu dipenuhi. Akan tetapi selang beberapa lama kemudian pabrik tersebut tidak dapat berkembang pesat, akhirnya dia mencurahkan seluruh waktunya untuk berdakwah. Untuk Dien ini. Untuk Islam.
Dia ingin mengembalikan masyarakat Indonesia yang saat itu sudah mulai tercekoki oleh budaya kristenisasi dan komunisme kepada Al-Qur’an dan hadits. Sedikit demi sedikit dia mampu mngembalikan risalah dakwah ini, dan mengembalikan tradisi sunnah serta mengejawantahkan Al-Qur’an.
Seperti itulah rencana Allah. Kita boleh membuat rencana, akan tetapi Allah lebih berhak menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik untuk kita. Walaupun dia bersikeras untuk mendapatkan keuntungan dari berdagang, akan tetapi Allah berkata lain. Dia –Allah- lebih memilihnya untuk berdakwah. Dia adalah A. Hasan.
Ladang dakwah yang digarapnya adalah pemuda. Dia menganggap pemuda adalah permata bangsa yang sangat mahal. Rusaknya pemuda menandakan rusaknya bangsa pula, oleh karena itu kalau kita ingin melihat banga Indonesia 20 tahun kedepan. Maka lihatlah pemuda yang ada saat ini. Kalau saat ini pemuda jauh dari masjid, maka 20 tahun lagi juga tidak akan jauh beda. Atau bahkan malah lebih parah. Kalau pemudanya takut dengan Islam, maka kedepan tidak akan jauh berbeda.
Kristenisasi dan komunisme menjadi musuh utama Islam kala itu, walaupun ternyata budaya Yahudi dengan Fremasonry nya juga sudah masuk ke Indonesia. Namun nampaknya Yahudi lebih takut dan memilih untuk bersembunyi di belakang kolonialisme.
Dulu berbeda dengan sekarang tantangan dakwahnya, sekarang budaya liberalisme yang membuat kebebasan tanpa batas membuat ummat ini semakin rusak. Itulah kenapa dulu A hasan lebih memilih pemuda untuk digarapnya. Salah satu pemuda hasil didik A. Hasan adalah Moh. Natsir dan Fachroedin. Kedua orang yang memiliki dua sifat yang berbeda ini menjadi anak didik kebanggan A. Hasan. Natsir dengan karakter pendiam, lemah lembut, namun cara bicaranya yang memukau pendengar, atau bahkan dengan logikanya yang rapi dan sangat indah berusaha untuk mengimbangi saudaranya, Fachroedin yang berwatak keras disertai emosi yang meninggi. Dua orang berwatak berbeda namun dengan satu tujuan. Islam.
Sudah siapkah kita untuk generasi pembaharu? Atau bahkan masih duduk terdiam di depan laptop berlayar biru? (red. Facebook). Sudah siapkah kita mengimbangi ladang-ladang dakwah yang lain? Atau bahkan memberikan hijab dengan ladang dakwah yang lain sehingga kita hanya bisa mendengarkan keluhan mereka tanpa turut membantu.
Wallahu ’Alam
Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang
0 komentar:
Posting Komentar