“Ati-ati, ya, Bo’. Mudah-mudahan
lu dapet tambahan temen yang baek-baek,” cukup tulus Bebi alias Bobi melepas
kepergian Tita yang sering dipeleset jadi Tito.
“Elu,
kayak gue mo ngerantau aja!”
“Dadah
Tito…!” Bobi melambai sebelah tangan, Tita cuma nyengir sambil meninggalkan
salon sekaligus studio foto tempat mereka berdua bekerja. Bobi sebagai perias
salon dan Tita sebagai desainer grafis yang mengolah foto sesuai permintaan
klien.
Ahad, seperti biasanya Tita pulang lebih awal. Kesempatan itu ia gunakan untuk memenuhi undangan sebuah komunitas penulis muda, sebagai jawaban atas surat permohonan bergabungnya. Karena organisasi ini baru saja berdiri, maka mereka masih membutuhkan banyak SDM, baik untuk pengurus maupun sekadar anggota biasa. Tita memang masih berupaya memanfaatkan sedikit waktunya untuk menuangkan ide penulisan di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan studio foto dan mahasiswa kelas ekstensi. Sedangkan Bobi yang dapat bagian pulang lebih awal pada hari jumat, mengaku sudah capek mikir kecuali kalau yang dipikirin adalah duit. Alhasil, ia tidak kuliah dan lebih suka kerja, juga ngerumpi.
***
“Mahasiswa
kok mikirnya lemot amat!”
“Makanya
lu diem, biar gue bisa konsen.”
“Jendela,
kali!”
Bobi dan Tita sedang debat membahas kelanjutan nasib Tita di organisasi yang kemarin ia datangi.
“Menurut gue organisasi itu
bagus buat lu, kali-kali aja lu bisa insaf,” Bobi ngasih pendapat setengah hati.
Antara setuju dan lucu, membayangkan rekan kerjanya yang super kaku dan nggak
ada gemulai-gemulainya itu berkumpul dengan para jilbaber yang bajunya pada
gombrang.
“Gue ngerasa kayak penyamun di sarang perawan.”
“Hua
ha… ha ha…, tadinya gue pengen ngomong begitu tapi gak tega, taunya lu nyadar
sendiri,” Bobi ngakak di depan toilet. Hari Senin pelanggan salon sepi,
sementara Tita terus sibuk dengan Photoshopnya.
“Tulisan
gue gak nyambung banget dengan tulisan mereka. Dan lagi lu tau kan, gue orangnya gak
pedulian, sedangkan mereka tuh rata-rata ker banget sama orang lain.” Jari-jari
tangan kiri Tita beberapa kali menekan tombol Ctrl, Alt, dan Z, yang berarti ia
telah berulang kali melakukan kesalahan.
“Tapi
gue yakin lu sebenernya tertarik buat gabung. Buktinya lu ragu, kalo nggak, lu
jelas udah cabut aja. Nggak usah lama-lama mikir!”
“He
eh, lu lembek-lembek pinter juga.”
“Lembek,
lu kira gue tape.”
“Tape
rekorder keras lagi.”
“Tip.”
“Tip
yang berupa duit ato saran-saran?”
“Au’
ah, eneg gue!”
Seorang
ibu dengan dua anak perempuannya memasuki salon, Bobi siap memvermak mereka, sedang
Tita mempersiapkan kamera dijital, siapa tahu mereka minta difoto.
***
Tita
sudah resmi menjadi anggota organisasi penulis muda, walau cuma anggota biasa,
ia tidak keberatan. Tita memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan apa pun
karena waktunya banyak tersita oleh pekerjaan yang terkesan ringan padahal
butuh konsentrasi dan kepekaan seni yang baik.
Ahad
siang, kembali Tita mendatangi sekretariat diantar oleh Bobi. Bobi yang
mengantar malah duduk memboceng di belakang sementara Tita dengan gaya koboinya menarik gas
kencang sembari memainkan gigi-gigi di kaki kirinya. Teman-teman yang berada di
depan sekretariat berdecak prihatin dengan gelengan khawatir.
“Si
cewek macho dan cowok tomboy itu punya nyawa berapa biji sih?”
“Tau,
dasar alien.”
“Ehm,
akhwat kok doyan ghibah,” seorang jilbaber yang lebih dewasa menegur dua
yuniornya.
“Akhwat
kan perempuan
juga, Kak.”
“Akhwat
juga perempuan…,” Tita yang baru turun dari sepeda motor menyanyi sumbang saat
melintasi tiga jilbaber teman barunya. “Assalamualaikum” ralatnya kemudian.
Salam
dibalas, disambung cipika cipiki khas cewek.
“Yang
tadi ngantar siapa, Dik?” tanya jilbaber dewasa yang biasa dipanggil Kak Dela.
“Bukan
siapa-siapa, cuma tetangga.”
“Teman
di rumah?”
“Bukan
juga, tapi tetangga di kerjaan. Dia duduk di bagian sana, Tita duduk di sebelah sini.” Tita
menunjuk ke dua arah berbeda sambil terkekeh ringan.
“Tapi
asli bukan saudara, kan?”
Kak Dela memburu dengan sabar.
“Ih,
amit-amit deh punya sodara dia, tapi orangnya baek lo, Kak Dela mo nitip
salam?”
“Nggak,
cuma mo ngasih tau.”
“Gimana
kalo taunya diganti duit aja?”
Sabar…
sabar.
“Nggak
baik laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dua-duaan,” Kak Dela terpaksa
menembak langsung.
“Ha
ha… dijamin seribu persen deh Kak, kita gak bakal pacaran!” tawa Tita membuat
orang-orang di sekitar mereka menoleh.
“Bagus
kalo kamu tau pacaran itu gak boleh, tapi…”
“Oo,
ada aturan gak boleh pacaran di organisasi ini, ya?” Tita memotong.
“Bukan,
bukan organisasi ini yang melarang, tapi Allah.”
Kerongkongan
Tita seketika kering, rahangnya kaku, dan lidahnya tiba-tiba serasa memendek,
singkatnya nggak bisa ngomong.
“Terlalu
berat untuk dipahami, ya? Kalo gitu kamu gabung aja ke pengajian, banyak
manfaatnya, lo.” Kak Dela memutuskan untuk bergerak perlahan.
“Liat
sikon, deh.”
“Kamu
juga bisa ajak temen kamu itu, tapi dia sama yang ikhwan.”
“Jangan,
Kak!”
“Kenapa?”
“Ntar
dia naksir mereka.”
“Astaghfirullah….”
***
Bobi
mengelus-elus dagunya yang klimis, “Ntar jangan-jangan kita diajarin ngerakit
bom.”
“Lu
kemakan fitnah, itu kan
kerjaan orang-orang yang nggak suka sama Islam, mencitraburukkan dengan tuduhan
teroris,” kali ini Tita serius.
“Lu
duluan deh, kalo kayaknya enak, baru gue ikutan,” Bobi akhirnya menolak ajakan
Tita untuk bergabung di pengajian.
“Lupa
ya, kalo yang enak-enak kan
biasanya gue makan sendiri.”
“Tapi
janji, lu gak boleh berubah.”
“Percuma
dong kalo nggak ada perubahan, mending nggak usah tau dari awal.”
“Maksud
gue, kalopun berubah, yang baek-baek aja.”
“Insya
Allah.”
Bobi
menoleh kaget, “Dari mana lu nemu kata itu?”
“Ck,
dari lahir Emak gue udah ngajarin, tapi baru kepake sekarang.”
***
Suasana
salon sekaligus studio foto sepi, hanya terdengar dengungan halus CPU dan
sandal Bobi yang sesekali dibawa melangkah, mengitari seorang ibu muda yang
minta dirias untuk ke pesta. Mata Bobi sendiri merah sejak kemarin, beberapa
langganan yang tidak tahu sebabnya selalu membuang muka saat bersitatap dengan
Bobi karena takut ketularan. Bobi sengaja merahasiakan penyebab matanya
memerah, kecuali Yang Di Atas, hanya dia dan Tita yang tahu.
Tita
yang ceriwis jadi tak punya tandingan saat Bobi mogok bicara, tapi ada
hikmahnya. Di hari-hari biasa ia hanya bisa mengerjakan sekitar sepuluh foto,
tapi sejak Bobi jadi pendiam, pekerjaan Tita yang biasa dilakukan dua hari,
kini bisa selesai hanya dalam satu hari saja.
Sisi
kanan dan kiri jilbab Tita yang mulai ia kenakan dua hari lalu membuatnya lebih
konsentrasi ke monitor computer. Tapi di mata Bobi, Tita malah terkesan
sombong. Bagaimana tidak, jika sedang beradu ngambek biasanya mereka saling
curi-curi pandang. Tapi sekarang, Tita tidak pernah melakukan itu dan jika Bobi
yang melakukannya, tak sedikit pun Tita bereaksi. Bobi terlalu berprasangka
buruk, ia tidak tahu bahwa Tita memang tidak melihat aksinya karena tertutup
sisi jilbab tadi.
***
“Gimana
eike gak kesel, Bos. Masak mentang-mentang udah gabung sama orang shaleh trus
dia gak mau kesentuh dikit aja,” Bobi melepas uneg-unegnya ke Bos Coki, warga
keturunan, pemilik salon dan studio foto.
“Masak
kamu nggak ngerti ajaran agama sendiri,” Bos Coki tidak bermaksud membela Tita,
ia sendiri lumayan uring-uringan melihat suasana kaku di tempat usahanya, yang
membuat para pelanggan mengeluh.
“Oke
Bos, sebagai temen eike seneng kok kalo dia jadi orang baek, alim, pake jilbab,
tapi mbok ya memperlakukan orang jangan kayak jijik gitu.”
“Jijik
gimana?”
“Salaman
nggak mau, diajak ngobrol matanya ke mana-mana, rasanya tuh eike kayak divonis
aja!”
“Ha
ha…, itu bukti bahwa dia masih menganggap kamu laki-laki! Kamu tau, saya pun
diperlakukan begitu, tapi saya percaya dia nggak berubah total sampai-sampai
menjauhi kamu, seperti yang kamu tuduhkan.”
“Sumpe
Bos?”
“Suer.
Makanya dia minta saya untuk menjelaskan ke kamu, supaya kamu bisa ngerti.”
Bobi
kembali mengelus-elus dagunya, beberapa helai rambut mini bermunculan lagi.
Bobi bersiap dengan gunting di depan cermin untuk membabat habis benda serupa
benang itu. Tapi kemudian niat itu ia batalkan sendiri.
“Kalian
bener, gue emang laki-laki!” tegasnya pada cermin toilet.
***
“Lu
yakin, pengajian mana aja gratis?”
“Laporin
ke gue kalo ada yang minta bayaran!”
Suasana
salon dan studio foto mulai hidup kembali.
“Trus
kalo gue lapor ke elu, mo lu apain tuh pengajian?”
“Ya
gue tanya berapa duit, trus duitnya buat apaan, ada bagi hasilnya nggak?” Tita
cekikikan tertunduk, hanya jilbab yang bergoyang tampak di mata Bobi.
“Nanti
di sana ada
formulirnya?”
“Formulir
apaan?”
“Buat
jadi ikhwan,” Bobi serius.
“Kalo
bukan karena jilbab ini, gue mungkin udah ngakak abis, he he…,” Tita melepas
mouse di tangannya dan merebahkan punggung ke sandaran kursi.
“Mo
jadi akhwat ato ikhwan gak perlu formulir, lu jangan sok formal gitu ah,
biasa-biasa aja!”
“Trus
gimana orang tau kalo gue ikhwan?”
“Nah
itu dia, lu jadi ikhwan karena siapa, karena Allah ato manusia?”
Bobi
malah diam ditanya demikian.
“Kalo
karena Allah, manusia gak perlu tau dan kalopun nantinya lu bisa berubah dari
segi fisik, maksud gue jenggot, model celana, dan semacemnya, itu juga bukan
buat diliat ato dinilai manusia.”
Bobi
mengangguk-angguk tanpa bicara.
“Jadi
sekarang, lu jalanin aja dulu, jangan terlalu maksa, gak usah dengerin cemooh
dan pujian orang, dan…”
“Dan
apa?”
“Kita
tetap berteman!”
Bobi
dan Tita tersenyum bersamaan, Bobi menghadap cermin toilet dan Tita berhadapan
dengan monitor komputer.
0 komentar:
Posting Komentar