Assalamu'alaikum Sahabat Rohis...Selamat Datang di portal blog Rohis SMK Negeri 2 Depok, Terima Kasih telah berkunjung, Salam Ukhuwah.. ^_^

Sabtu, 04 Februari 2012

Hijrah jadi ikhwan dan akhwat..??

 “Ati-ati, ya, Bo’. Mudah-mudahan lu dapet tambahan temen yang baek-baek,” cukup tulus Bebi alias Bobi melepas kepergian Tita yang sering dipeleset jadi Tito.
“Elu, kayak gue mo ngerantau aja!”
“Dadah Tito…!” Bobi melambai sebelah tangan, Tita cuma nyengir sambil meninggalkan salon sekaligus studio foto tempat mereka berdua bekerja. Bobi sebagai perias salon dan Tita sebagai desainer grafis yang mengolah foto sesuai permintaan klien.

Ahad, seperti biasanya Tita pulang lebih awal. Kesempatan itu ia gunakan untuk memenuhi undangan sebuah komunitas penulis muda, sebagai jawaban atas surat permohonan bergabungnya. Karena organisasi ini baru saja berdiri, maka mereka masih membutuhkan banyak SDM, baik untuk pengurus maupun sekadar anggota biasa. Tita memang masih berupaya memanfaatkan sedikit waktunya untuk menuangkan ide penulisan di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan studio foto dan mahasiswa kelas ekstensi. Sedangkan Bobi yang dapat bagian pulang lebih awal pada hari jumat, mengaku sudah capek mikir kecuali kalau yang dipikirin adalah duit. Alhasil, ia tidak kuliah dan lebih suka kerja, juga ngerumpi.
***
“Mahasiswa kok mikirnya lemot amat!”
“Makanya lu diem, biar gue bisa konsen.”
“Jendela, kali!”

Bobi dan Tita sedang debat membahas kelanjutan nasib Tita di organisasi yang kemarin ia datangi.
“Menurut gue organisasi itu bagus buat lu, kali-kali aja lu bisa insaf,” Bobi ngasih pendapat setengah hati. Antara setuju dan lucu, membayangkan rekan kerjanya yang super kaku dan nggak ada gemulai-gemulainya itu berkumpul dengan para jilbaber yang bajunya pada gombrang.

“Gue ngerasa kayak penyamun di sarang perawan.”
“Hua ha… ha ha…, tadinya gue pengen ngomong begitu tapi gak tega, taunya lu nyadar sendiri,” Bobi ngakak di depan toilet. Hari Senin pelanggan salon sepi, sementara Tita terus sibuk dengan Photoshopnya.
“Tulisan gue gak nyambung banget dengan tulisan mereka. Dan lagi lu tau kan, gue orangnya gak pedulian, sedangkan mereka tuh rata-rata ker banget sama orang lain.” Jari-jari tangan kiri Tita beberapa kali menekan tombol Ctrl, Alt, dan Z, yang berarti ia telah berulang kali melakukan kesalahan.
“Tapi gue yakin lu sebenernya tertarik buat gabung. Buktinya lu ragu, kalo nggak, lu jelas udah cabut aja. Nggak usah lama-lama mikir!”
“He eh, lu lembek-lembek pinter juga.”
“Lembek, lu kira gue tape.”
“Tape rekorder keras lagi.”
“Tip.”
“Tip yang berupa duit ato saran-saran?”
“Au’ ah, eneg gue!”
Seorang ibu dengan dua anak perempuannya memasuki salon, Bobi siap memvermak mereka, sedang Tita mempersiapkan kamera dijital, siapa tahu mereka minta difoto.
***
Tita sudah resmi menjadi anggota organisasi penulis muda, walau cuma anggota biasa, ia tidak keberatan. Tita memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan apa pun karena waktunya banyak tersita oleh pekerjaan yang terkesan ringan padahal butuh konsentrasi dan kepekaan seni yang baik.
Ahad siang, kembali Tita mendatangi sekretariat diantar oleh Bobi. Bobi yang mengantar malah duduk memboceng di belakang sementara Tita dengan gaya koboinya menarik gas kencang sembari memainkan gigi-gigi di kaki kirinya. Teman-teman yang berada di depan sekretariat berdecak prihatin dengan gelengan khawatir.
“Si cewek macho dan cowok tomboy itu punya nyawa berapa biji sih?”
“Tau, dasar alien.”
“Ehm, akhwat kok doyan ghibah,” seorang jilbaber yang lebih dewasa menegur dua yuniornya.
“Akhwat kan perempuan juga, Kak.”
“Akhwat juga perempuan…,” Tita yang baru turun dari sepeda motor menyanyi sumbang saat melintasi tiga jilbaber teman barunya. “Assalamualaikum” ralatnya kemudian.
Salam dibalas, disambung cipika cipiki khas cewek.
“Yang tadi ngantar siapa, Dik?” tanya jilbaber dewasa yang biasa dipanggil Kak Dela.
“Bukan siapa-siapa, cuma tetangga.”
“Teman di rumah?”
“Bukan juga, tapi tetangga di kerjaan. Dia duduk di bagian sana, Tita duduk di sebelah sini.” Tita menunjuk ke dua arah berbeda sambil terkekeh ringan.
“Tapi asli bukan saudara, kan?” Kak Dela memburu dengan sabar.
“Ih, amit-amit deh punya sodara dia, tapi orangnya baek lo, Kak Dela mo nitip salam?”
“Nggak, cuma mo ngasih tau.”
“Gimana kalo taunya diganti duit aja?”    
Sabar… sabar.
“Nggak baik laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dua-duaan,” Kak Dela terpaksa menembak langsung.
“Ha ha… dijamin seribu persen deh Kak, kita gak bakal pacaran!” tawa Tita membuat orang-orang di sekitar mereka menoleh.
“Bagus kalo kamu tau pacaran itu gak boleh, tapi…”
“Oo, ada aturan gak boleh pacaran di organisasi ini, ya?” Tita memotong.
“Bukan, bukan organisasi ini yang melarang, tapi Allah.”
Kerongkongan Tita seketika kering, rahangnya kaku, dan lidahnya tiba-tiba serasa memendek, singkatnya nggak bisa ngomong.
“Terlalu berat untuk dipahami, ya? Kalo gitu kamu gabung aja ke pengajian, banyak manfaatnya, lo.” Kak Dela memutuskan untuk bergerak perlahan.
“Liat sikon, deh.”
“Kamu juga bisa ajak temen kamu itu, tapi dia sama yang ikhwan.”
“Jangan, Kak!”
“Kenapa?”
“Ntar dia naksir mereka.”
“Astaghfirullah….”
***
Bobi mengelus-elus dagunya yang klimis, “Ntar jangan-jangan kita diajarin ngerakit bom.”
“Lu kemakan fitnah, itu kan kerjaan orang-orang yang nggak suka sama Islam, mencitraburukkan dengan tuduhan teroris,” kali ini Tita serius.
“Lu duluan deh, kalo kayaknya enak, baru gue ikutan,” Bobi akhirnya menolak ajakan Tita untuk bergabung di pengajian.
“Lupa ya, kalo yang enak-enak kan biasanya gue makan sendiri.”
“Tapi janji, lu gak boleh berubah.”
“Percuma dong kalo nggak ada perubahan, mending nggak usah tau dari awal.”
“Maksud gue, kalopun berubah, yang baek-baek aja.”
“Insya Allah.”
Bobi menoleh kaget, “Dari mana lu nemu kata itu?”
“Ck, dari lahir Emak gue udah ngajarin, tapi baru kepake sekarang.”
***
Suasana salon sekaligus studio foto sepi, hanya terdengar dengungan halus CPU dan sandal Bobi yang sesekali dibawa melangkah, mengitari seorang ibu muda yang minta dirias untuk ke pesta. Mata Bobi sendiri merah sejak kemarin, beberapa langganan yang tidak tahu sebabnya selalu membuang muka saat bersitatap dengan Bobi karena takut ketularan. Bobi sengaja merahasiakan penyebab matanya memerah, kecuali Yang Di Atas, hanya dia dan Tita yang tahu.
Tita yang ceriwis jadi tak punya tandingan saat Bobi mogok bicara, tapi ada hikmahnya. Di hari-hari biasa ia hanya bisa mengerjakan sekitar sepuluh foto, tapi sejak Bobi jadi pendiam, pekerjaan Tita yang biasa dilakukan dua hari, kini bisa selesai hanya dalam satu hari saja.
Sisi kanan dan kiri jilbab Tita yang mulai ia kenakan dua hari lalu membuatnya lebih konsentrasi ke monitor computer. Tapi di mata Bobi, Tita malah terkesan sombong. Bagaimana tidak, jika sedang beradu ngambek biasanya mereka saling curi-curi pandang. Tapi sekarang, Tita tidak pernah melakukan itu dan jika Bobi yang melakukannya, tak sedikit pun Tita bereaksi. Bobi terlalu berprasangka buruk, ia tidak tahu bahwa Tita memang tidak melihat aksinya karena tertutup sisi jilbab tadi.
***
“Gimana eike gak kesel, Bos. Masak mentang-mentang udah gabung sama orang shaleh trus dia gak mau kesentuh dikit aja,” Bobi melepas uneg-unegnya ke Bos Coki, warga keturunan, pemilik salon dan studio foto.
“Masak kamu nggak ngerti ajaran agama sendiri,” Bos Coki tidak bermaksud membela Tita, ia sendiri lumayan uring-uringan melihat suasana kaku di tempat usahanya, yang membuat para pelanggan mengeluh.
“Oke Bos, sebagai temen eike seneng kok kalo dia jadi orang baek, alim, pake jilbab, tapi mbok ya memperlakukan orang jangan kayak jijik gitu.”
“Jijik gimana?”
“Salaman nggak mau, diajak ngobrol matanya ke mana-mana, rasanya tuh eike kayak divonis aja!”
“Ha ha…, itu bukti bahwa dia masih menganggap kamu laki-laki! Kamu tau, saya pun diperlakukan begitu, tapi saya percaya dia nggak berubah total sampai-sampai menjauhi kamu, seperti yang kamu tuduhkan.”
“Sumpe Bos?”
“Suer. Makanya dia minta saya untuk menjelaskan ke kamu, supaya kamu bisa ngerti.”
Bobi kembali mengelus-elus dagunya, beberapa helai rambut mini bermunculan lagi. Bobi bersiap dengan gunting di depan cermin untuk membabat habis benda serupa benang itu. Tapi kemudian niat itu ia batalkan sendiri.
“Kalian bener, gue emang laki-laki!” tegasnya pada cermin toilet.
***
“Lu yakin, pengajian mana aja gratis?”
“Laporin ke gue kalo ada yang minta bayaran!”
Suasana salon dan studio foto mulai hidup kembali.
“Trus kalo gue lapor ke elu, mo lu apain tuh pengajian?”
“Ya gue tanya berapa duit, trus duitnya buat apaan, ada bagi hasilnya nggak?” Tita cekikikan tertunduk, hanya jilbab yang bergoyang tampak di mata Bobi.
“Nanti di sana ada formulirnya?”
“Formulir apaan?”
“Buat jadi ikhwan,” Bobi serius.
“Kalo bukan karena jilbab ini, gue mungkin udah ngakak abis, he he…,” Tita melepas mouse di tangannya dan merebahkan punggung ke sandaran kursi.
“Mo jadi akhwat ato ikhwan gak perlu formulir, lu jangan sok formal gitu ah, biasa-biasa aja!”
“Trus gimana orang tau kalo gue ikhwan?”
“Nah itu dia, lu jadi ikhwan karena siapa, karena Allah ato manusia?”
Bobi malah diam ditanya demikian.
“Kalo karena Allah, manusia gak perlu tau dan kalopun nantinya lu bisa berubah dari segi fisik, maksud gue jenggot, model celana, dan semacemnya, itu juga bukan buat diliat ato dinilai manusia.”
Bobi mengangguk-angguk tanpa bicara.
“Jadi sekarang, lu jalanin aja dulu, jangan terlalu maksa, gak usah dengerin cemooh dan pujian orang, dan…”
“Dan apa?”
“Kita tetap berteman!”
Bobi dan Tita tersenyum bersamaan, Bobi menghadap cermin toilet dan Tita berhadapan dengan monitor komputer.

Dhuha, 15 Ramadhan 1426 - Syarifah L

0 komentar:

Posting Komentar